Sabtu, 26 Oktober 2024

Cantik Mungil

Persis dua minggu yang lalu saya berniat membuat postingan ini. Aslinya hanya karena pernah berjanji pada diri sendiri untuk teratur menulis, berbagi refleksi pengalaman harian yang kadang terlalu ramai dan bakal hilang kalau tidak dituliskan. Sayangnya, begitu banyaknya ide dan gagasan yang muncul setiap hari tidak secara langsung membuat saya bisa lancar dan segera menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terlalu banyak halangan dan overthinking, seperti biasa, menjadi dalih dan rintangan utama menyelesaikan niatan mulia berbagi cerita untuk orang lain. Saya kembali ke ritual lama, bermalas-malasan, mengumpulkan sebanyak mungkin semangat tambahan, pemicu bahkan pertanda untuk menggerakkan niat menulis kembali. Dan akhirnya baru bisa hari ini, setelah ada banyak lampu rasanya menyala bergantian dalam kepala.

Semua orang, saya yakin, pasti memiliki masalah dalam kesehatan tubuhnya, entah besar atau kecil, serius ditangani atau dibiarkan saja, tapi p-a-s-t-i a-d-a. Saya juga punya, banyak, dan kelihatannya muncul makin beragam, dengan skala berbeda seiring waktu. Saya menganggap hal ini sebagai suatu yang wajar, karena tubuh ini aslinya juga tempat bermukim banyak sekali mahluk hidup lainnya. Yang pastilah seringkali tidak disadari, sampai saat mereka berulah. Saya menyadari hal ini, ajaibnya, baru sekitar 15 tahun lalu, bukan karena ada penyakit yang kambuh, tapi justru karena harus menyelesaikan tugas esai menyangkut interaksi mutualistik vs interaksi parasitik dari Mata Kuliah Ekologi dan Evolusi, di kampus jauh di benua seberang lautan. Banyak hal menarik yang saya temukan setelah menelusuri pustaka-pustaka pendukung esai tersebut, tapi ada salah satu yang membuat saya mendapat pencerahan. Ada hubungan yang sangat erat dan khas antara parasit yang menyerang dengan tubuh inang tempatnya bersarang.

Pada suatu waktu, mungkin saja terjadi bahwa sang mahluk yang dianggap parasit berubah menjadi simbion, organisme yang hidup bersama dengan inangnya, dan membawa pengaruh menguntungkan. Sebuah mekanisme alami yang terdokumentasi pada banyak pustaka dari beragam riset di seluruh dunia. Saat itu saya hanya berhasil menemukan satu pesan sederhana, bahwa segala sesuatu di alam ini bersifat relatif, sangat berpeluang mengalami perubahan. Perubahanlah yang memiliki sifat tetap, akan terus terjadi. Kita yang berhak mengamati dan mencari hikmah serta pelajaran di balik semua perubahan tersebut.

Lantas, apa hubungannya saya mengobrol begitu jauh ke masa bertahun lalu, setelah menghubungkan dengan refleksi 2 minggu lalu itu? Saya menemukan bahwa ada banyak hal kecil yang seringkali luput diperhatikan, tapi mampu menunjukkan kegigihannya dalam bertahan. Pertama, salah satu penyakit jamuran yang saya anggap tidak penting, sudah lama sembuh, ternyata kambuh lagi, dan menyebalkan sekali karena mengurangi kenyamanan hidup belakangan ini. Benar-benar hal kecil, tapi pertanda besar bahwa saya sudah mulai abai pada beberapa hal akhir-akhir ini. Mungkin saja komposisi makanan dan minuman yang saya masukan dalam tubuh, atau gaya hidup yang mengurangi ketahanan kesehatan kulit saya, atau justru ada perubahan cuaca yang tidak segera saya imbangi dengan perubahan perilaku. Mahluk sekecil jamur kulit, kambuh pelan-pelan karena keteledoran inangnya, dan gigih bertahan sampai minta diatasi kalau si inang, saya ini, mau hidup tenteram. Konyol.

Kedua, dua minggu lalu itu, persis seusai hujan dan angin badai yang sukses menggugurkan mangga-mangga madu di halaman belakang, saya menemukan banyak keindahan kecil di jalur jalan pagi saya. Beberapa jenis bunga dari semak liar dan rerumputan yang masih mekar dan bertahan, tetap tampil cantik menatap matahari pagi. Dengan ukuran bunga yang tidak sampai seukuran kuku, semuanya bertebaran, tergoyang angin, masih bertemankan embun sisa hujan sebelumnya. Benar-benar mahluk mungil, tapi cantik, pertanda besar bahwa kemampuan bertahan itu tidak selalu terkait masalah ukuran, tapi apa yang melengkapinya untuk tetap bertahan. Akar serabutnya-kah? Atau susunan percabangannya yang lentur? Atau ikatan jaringan dedaunannya yang menyebar? Pertanyaan iseng tak berujung ini mungkin tidak penting, tapi dari sudut alam makro, banyak detil cantik yang terekam. Seperti biasa, salah satu penyakit bawaan saya kambuh, kepo untuk mengungkap, namanya, ciri penting lainnya, asalnya, dan adakah manfaatnya, karena pada dasarnya teorema “Semua yang diciptakan Tuhan pasti ada gunanya” tidak pernah lepas dari alam bawah sadar saya.

Bling, identitas mahluk-mahluk berbunga kecil dan tidak penting ini ternyata punya informasi yang menarik. Ada yang bernama bagus, ada yang saling berkerabat, ada yang berasal dari negeri yang jauh, ada yang berbakat sebagai pengganggu, tapi semuanya punya kandungan biokimia yang kalau diusut-usut, bisa dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit tertentu. Dan ternyata memang sudah ada yang menjadi bahan obat tradisional di tempat lain. Rasanya tidak sia-sia saya memaksakan diri menekuri rute jalan pagi, lalu berjongkok-jongkok merendahkan badan untuk mengambil foto bunga-bunga cantik ini.

Mengharapkan pertanda, menunggu pemicu, melewatkan bukti-bukti kecil, mengabaikan masalah sampai akhirnya memperoleh pemahaman dan solusi sendiri, adalah sebagian dari daftar litani hidup yang umum terjadi. Menempatkan di mana mata fisik dan mata hati kita mesti berada supaya bisa terhubung sekaligus dengan isi benak dan perasaan, kembali pada keputusan masing-masing. Banyak tanda-tanda yang selalu tersedia di hadapan kita, sederhana, canggih, kecil, besar, hal remeh, menyolok mata, semua bermakna, hanya kalau kita berusaha mencarinya.

Disclaimer: nama species dari internet, kiri ke kanan dari atas ke bawah, berpeluang dikoreksi sesuai nama yang baku/sinonimnya:Oxalis barrelieri, Ipomoea triloba, Cyanthillium cinereum, Oxalis dillenii

Refleksi bacaan Alkitab Harian Senin, 14 Oktober 2024 Galatia 4:22-24, 26-27, 31-5:1 dan Lukas 11:29-32