Kalimat itu menjadi pengingat yang terus-menerus berulang dalam minggu-minggu terakhir di tahun 2024 ini. Doa, berpikir tentang doa, berbicara dan berbagi sesuai doa-doa yang dipanjatkan, atau selanjutnya bertindak sesuai harapan dan impian yang kita doakan, seringkali berubah-ubah, sangat dinamis dalam perkembangannya. Saya menemukannya berkali-kali sejak memutuskan untuk kembali ke Manokwari, berkunjung, atau pulang ke rumah sendiri setelah lama ditinggalkan. Hampir 10 tahun yang lalu saya memutuskan membeli rumah ini dengan tujuan utama setidaknya mengurangi resiko kenaikan uang kos atau kontrakan yang bisa terjadi setiap tahun. Juga untuk memuaskan keinginan memiliki barang-barang pribadi tanpa direpoti pendapat orang lain. Ada banyak alasan lain juga, tapi yang pasti, waktu berlalu dan semua alasan yang tampaknya bagus, baik, sempurna itu sudah tidak penting lagi. Semua berubah, ada yang drastis, ada yang perlahan, beserta segala konsekuensinya.
Di tahap ini, saya kembali dihadapkan pada kewajiban untuk mencari arah baru, posisi dan status yang harus saya terima dan pahami sebagai bagian untuk keluar dari zona nyaman. Yang ajaibnya, adalah cara terbaik untuk tetap bertahan hidup. Saya benar-benar harus pindah, belajar menjadi sangat iklas, ringan tanpa beban, penuh senyum mulai melepaskan segala yang tampaknya lebih diperlukan pihak lain, sembari membuang yang tidak penting dan membawa hanya yang paling dibutuhkan.Pulang ke rumah sendiri, kali ini menjadi masa belajar berdamai dengan semua situasi dan kondisi, memilih dengan banyak prioritas dan peluang, memanfaatkan segala kesempatan serta bersyukur atas semua orang dan waktu yang tersisa. Refleksi yang ramai, padat kesan dan serasa tidak habis-habisnya.
Saya akhirnya mengetahui antara lain, 1) tubuh saya tidak selalu sekuat nafsu dan semangat saya, 2) dukungan doa, waktu, tenaga, niat dan orang-orang adalah kumpulan faktor yang teramat penting dalam membereskan rencana yang awalnya terlihat mustahil, 3) selalu wajib ada banyak alternatif rencana untuk menjaga proses tetap berjalan, dan lain-lain, sampai ke hal yang ke x) kita perlu berhenti sejenak kalau itu memang diperlukan. Saya menemukan, bahwa kesempatan hidup ini jadi gabungan beberapa perjalanan, kegiatan, istirahat yang tidak jauh-jauh dari unsur hilang, ketemu yang hilang, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, berusaha beberes dan bebenah, supaya semua bisa jalan meski kadang tidak sesuai rencana, dan bersyukur saat tiba di titik pencapaian. Gambar-gambar yang ada dalam postingan ini sebenarnya hanya merangkum kisah—kisah pendek dari rangkaian kejadian belakangan ini. Saat beberes rumah yang sekian lama ditinggalkan, saya akhirnya menemukan GPS lama, alat yang berkali-kali saya minta bantuannya untuk dicarikan oleh penjaga rumah saya supaya saya bisa menggunakannya untuk penelitian saya yang lalu. Berkali-kali dicari tidak ketemu, tetapi langsung ketemu saat saya membuka laci lemari buku yang sudah usang. Dalam keadaan sangat prima, meski saya sempat khawatir ada gangguan akibat saya lupa mencabut baterai selama penyimpanannya. Fix, si GPS seperti berpesan semua baik-baik saja, siap menentukan posisi dan arah ke depan, di manapun ia digunakan nanti. Sungguh suatu refleksi yang #sotoy Kisah selanjutnya, saya yang selama ini selalu parno dan punya bakat semi OCD, akhirnya berani dan bisa menerima hasil tidak sempurna dari dapur darurat saya. Dan di atas meja makan merangkap meja kerja dan belajar saya akhirnya tersaji secara lengkap semua ini; sup ayam seadanya yang luar biasa pedas karena ketumpahan lada bubuk sebungkus sementara saya lupa sudah menggunakan jahe beberapa ruas untuk merebus ayam, nasi dingin yang sekali ini bertempat dalam gelas plastik tetangga, ditemani bunga-bunga di dalam kain taplak pemberian. Ini memang bukan cerita soal makanan saja, tapi dengan segera mengingatkan seperti apa perasaan belakangan ini, di mana sebenarnya diri harus berada. Di tempat sekolah, di tempat bekerja, atau di tempat (harapan-impian) domisili. Terlalu kusut.