Jumat, 30 Oktober 2020

Menjaga Lilin

Semalam, waktu panasnya kenangan tentangmu lebih menyengat ketimbang cahaya lilin di atas lantai, aku menyerah. Terlalu banyak halaman yang belum selesai dibaca, huruf-huruf dan kata-kata berlarian tidak mau berhenti. Bahasa yang sama, bahasa yang berbeda, rumus yang sederhana, sampai yang hanya dimengerti oleh mesin, semua berebut ingin diperhatikan. Dan kembali rasa sesak di dada mulai menyerang, dengan nyeri dan sedikit kebas mulai menyerang lengan, bahu dan leher.

Malam Jumat yang tidak seperti biasanya, mengingat sudah ada niatan untuk menantikan sesuatu, entah tercapai atau tidak. Apa sebenarnya makna cahaya lilin di hadapan kali ini? Hanya sekedar penanda untuk menghitung sudah berapa kali listrik dipadamkan tanpa aba-aba? Atau pereda rasa pengap karena fobia gelap tidak pernah bisa hilang? Atau bisa jadi teman sumber harapan dan kekuatan yang menjaga lantunan doa-doa pasrah belakangan ini? Atau penyemangat supaya bisa membuat niatan untuk menanti waktu lewat tengah malam terwujud? Yang pasti,bukan sarana pesugihan yang makin banyak ditawarkan secara online di medsos dan gadget-gadget akhir-akhir ini. Terlalu banyak tanya untuk hanya sekedar cahaya hangat kecil ini. Dan karena melihat cahaya lilin kecil ini, ingatan tentangmu malah makin besar.

Kau, ingatan tentangmu, cahaya lembut yang menerangi lembar-lembar buku penuh tulisan usang berpuluh tahun lalu. Saat isi kepala dan hari-hari masih sederhana, kata dan makna masih begitu beragam, dan apapun selalu tampak menarik karena penuh gelisah masa muda.
Kau, ingatan tentangmu, cahaya yang terkadang suram dan sering terlalu terang saat mulai menapaki jalan pasir, berbatu, berliku, dan berusaha keluar dari banyak badai. Saat semua mulai merumit, dan kata mulai berbahasa dengan rasa yang berbeda, memasuki samudera yang terlalu luas penuh gelombang.
Kau, ingatan tentangmu, cahaya yang selalu ada di sana, sejauh pandangan mata, tapi tetap juga di dalam sini, menyala tenang dalam satu ceruk hati, tidak pernah padam meski berulang meredup karena jerih lelah. Saat menjaga nyalamu adalah satu-satunya yang menguatkanku dan melemahkanku sekaligus, di setiap tarikan nafasku yang sering tak tertahankan ini. Kutahu cahayamu selalu menghangatkan sangat banyak relung gelap dan dingin, dan karena itu aku harus rela berbagi.

Haruskah kuberhenti? Untukmu sendiri, perlukah kau menjaga lilinmu sendiri? Atau pernahkah? Sampai kapan? Atau masih perlukah kau menyalakan lilin? Jawabanmu? Lantas keputusanku menjaga lilin ini?
Sungguh mengesalkan sekali, melihat bayanganmu menyeringai dengan mata letih membayang dari tirai penuh renda di jendela. Baiklah, sekali ini keputusannya adalah menyerah, tidur, membiarkan lilin yang menyala terbakar pelan. Cahayanya menemani nyenyak tanpa mimpi malam ini. Tinggalkan tumpukan tugas dan ujian yang belum usai.

Hingga subuh tadi, lampu sudah menyala lagi, semua di-kembali-kan ke jalan yang benar, dan begitulah, apa yang diniatkan semalam akhirnya tidak tercapai, dan mesti disambung pagi ini.

Selamat ulang tahun, sosok cahaya yang selalu setia,
menyinari dan menghangatkan punggung dan wajahku,
meski terlewat dari menit pertama tengah malam tadi.
Tetaplah kuat cahayamu, dalam kegelapanmu,
dalam terang siangmu, setiap saat.
Semoga kasih, kekuatan, rahmat
dan segala yang terbaik selalu dianugerahkan Tuhan,
untukmu.
Amin.

Kamis, 01 Oktober 2020

Hal kecil, kenangan yang besar

Kita sering tidak menyadari bahwa di dalam hidup kita, justru hal-hal kecil yang menyimpan kenangan yang begitu besar dalam ingatan kita. Hari ini saya mengalami salah satunya. Ada beberapa rumpun bunga di halaman pastoran gereja yang membawa ingatan saya melayang begitu jauh ke masa lebih dari 30 tahun lalu. Masa ketika hidup belum seriuh ini, dan masalah yang dihadapi hanya sejauh bagaimana menemukan kaus kaki yang lengkap pasangannya, pekerjaan rumah yang belum beres, dasi dan topi yang selalu lenyap saat dibutuhkan untuk upacara, atau bagaimana cara mendapatkan jajanan di tengah himpitan senior-senior yang berebutan di kantin sekolah. Salah satu rumpun itu adalah Turnera subulata Sm. - bunga pukul delapan, white buttercup, sulphur alder, politician's flower adalah sebagian nama lokal yang menyemati anggota famili Passifloraceae, bunga yang masih berkerabat dengan markisa inilah yang memicu ingatan masa kecil saya. Setiap Minggu pagi, di masa-masa hidup yang simpel itu, bunga-bunga ini selalu menguncup saat saya lewati ketika berangkat dan selalu mekar dengan kekuatan penuh saat saya melaluinya waktu misa usai. Jaman itu, angkutan umum masih jarang, apalagi di hari Minggu, pagi-pagi. Kekesalan karena mesti mengikuti misa paling pagi, harus berangkat dengan berjalan kaki dalam keadaan mengantuk dan seringkali disertai perut yang masih lapar, agak berkurang melihat rumpun-rumpun bunga tersebut. "Tunggu nanti pulang, pasti sudah mekar semua, Li", raut wajah Mama yang tersenyum memegang tangan kecil saya bersama-sama menuju gereja. Dan benarlah, seusai misa, saya pasti berjalan pulang dalam keadaan riang sambil sepuas mungkin memandangi kuncup-kuncup tadi bermekaran dengan kekuatan penuh, tepat pukul delapan, setia, tidak pernah ingkar. Kebiasaan itu sedikit berubah, setelah saya pindah lebih jauh, dan kami lebih sering berangkat dengan angkutan umum yang makin banyak. Saya hanya bisa memandangi rumpun-rumpun itu, berbagi senyum dengan Mama sambil menunjuk,"Mereka masih ada, Ma. Mekar, banyak-banyak."
Namun, hampir tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, juga di kota sekecil Jayapura. Sang pemilik halaman tempat sang bunga pukul delapan tersebut memutuskan menggantikan rumpun-rumpun itu dengan bambu-bambu halus yang lebih nge-trend saat itu. Saya kehilangan bunga-bunga yang mekar selalu tepat waktu, tanpa peduli cuaca itu akhirnya. Sampai akhirnya bahkan mulai lupa karena melewatkan waktu mekarnya akibat keseringan bangun terlambat, lantas misa siang sendirian, tanpa Mama yang tetap setia dengan ritual mingguannya. Hari-hari pun berlangsung penuh kesibukan, tidak sesederhana dulu lagi. Dan hari ini, hal-hal kecil itu muncul lagi, hanya karena rumpun bunga sederhana yang berbunga mengikuti jadwal hariannya, tidak lebih, tidak juga kurang. Sempat terpikir, apakah sebenarnya yang menjadi kenangan? Bunga kecil sederhana, sosok Mama yang sabar, atau kenyataan bahwa keduanya selalu ada di sana, setiap Minggu pagi, setia, tidak ingkar, mengingatkan untuk tetap semangat melalui hari yang tidak pernah luput dari perubahan, bersama-sama menyapa Sang Pemilik Hidup karena telah menguatkan dan menunjukkan cinta-Nya? Saya rasa itulah ringkasnya. Hal-hal kecil, tapi dengan kenangan menghangatkan hati, memang mungkin hanya itu yang perlu kita peluk selamanya.
Hari ini, saat kenangan dan rindu makin kental Magnificat

Kisah Kita

Bernafas, namun tak berasa hidup. Berjiwa, namun berasa tak bernyawa. Menjalani hari hanya menghitung tiap menit, berusaha melupakan bahwa...