Jumat, 04 Desember 2020

Kekhawatiran

Apa yang paling engkau cemaskan dalam hidup ini?
Ketakutan sebesar apakah yang paling menghantuimu, baik sadar, maupun tanpa sadar?
Pernah engkau membaginya dengan orang lain?
Atau membiarkannya menguasaimu?

Mungkin benarlah, bahwa kenangan tentang jatuh, terjatuh, kejatuhan, menjatuhkan, dan sejenisnya bisa tersimpan begitu kuat dalam pikiran, dan seringkali melibatkan perasaan. Salah satu kenangan tentang jatuh ini menyangkut orang terkasih saya yang sudah pergi, Mama. Waktu, rentetan kejadian, setiap benda, orang dan aktifitas apapun yang terlibat dengan jatuhnya beliau pada saat menjelang sakit, bisa terpelihara dengan sangat segar dalam benak. Seringkali menimbulkan rasa ngilu bila terpicu hal-hal yang terkait dan langsung tergambar kembali dengan jelas. Ada banyak rasa sesal di sana, ada banyak pertanyaan mengapa begini, mengapa begitu, seharusnya begini, seharusnya begitu yang juga terlibat. Segala kesulitan yang mengikuti, tidak pernah hilang pula dari ingatan.

"Semua orang yang sudah lanjut usia mengalami penurunan kondisi tubuh, dan sangat beresiko untuk jatuh dan cedera. Kita hanya bisa berupaya menjaga." Itu juga sebagian dari pesan dokter saat itu yang teringat, bahwa selalu ada peluang hal-hal yang dikhawatirkan akan terjadi. Bersiap dan tetap waspada, hanya itu yang sebenarnya bisa dilakukan.

Saya juga sering jatuh, pernah secara fisik dengan efek luka dan memar yang kelihatan. Namun lebih sering lagi jatuh secara mental, dan dalam pikiran, yang dampaknya tidak kelihatan, tapi justru lebih lama pulih. Jatuh cinta, mungkin saja berdampak lebih lama dan menyehatkan, tapi jatuh sakit secara psikis, selalu tersembunyi dan sulit sembuh. Yang paling mencemaskan, semuanya bisa keluar setiap saat dalam ketakutan dan kegelisahan, penuh trauma.

Seperti sesosok bogart dalam kisah Harry Potter, yang menjelma menjadi ketakutan terdalam setiap penyihir yang menghadapinya, trauma itu membekas begitu dalam.
Atau seperti sosok imoogi dalam kisah siluman rubah penjaga gunung, yang memanfaatkan kecemasan terbesar semua tokoh di dalamnya, kondisi itu berlangsung ratusan tahun.
Bisa saja kekhawatiran akan kejatuhan terlihat hanya sebagai bagian menakutkan dari cerita itu. Semua tokoh pernah jatuh, pernah mengalami masa sulit, bergumul untuk bisa mengatasi rasa sakit, seringkali rasa malu, bergulat sendiri dengan perasaan dan pemikirannya, mencari tenaga untuk pulih kembali, dan bernafas terus dengan segala trauma sesudahnya.

Jadi, karena siapapun punya peluang untuk jatuh, masih mau bangkit kembali kan?
Gambar diambil dari RS Provita, awal tahun lalu, penuh kenangan dari yang terkasih, Ibunda Maria G. Keiluhu-Here.

Kamis, 03 Desember 2020

Menghitung Berkat

Setiap orang mempunyai cara yang berbeda dalam menghitung berkat yang diterimanya setiap hari.
Itu juga kalau dia ingat untuk menghitungnya.

Mengerjakan rencana yang sudah ditargetkan, menjalankan usaha apapun yang sudah diniatkan, atau sekedar memenuhi tenggat waktu tugas-tugas, bisa termasuk daftar berkat-berkat yang sering tidak disadari bisa dilakukan setiap hari.
Yang lain lagi mungkin melakukannya dengan cara berbeda, mengingat segala kesalahan, masalah, dendam atau menghabiskan sepanjang hari dengan mengeluh dan memikirkan kepahitan yang dialami. Entah dengan sadar, atau tidak sadar, iklas atau terpaksa, dengan santai, atau campur aduk, semuanya bagian dari menjalani berkat itu.

Masih ada banyak lagi hal-hal sederhana yang hampir selalu luput dari menghitung berkat, dan sudah pasti menjadi bagian litani tanpa kata Amin bila kita berusaha mengingat dan menuliskannya.
Ada yang menuangkannya dalam kata, ada yang menyimpannya dalam gambar, ada yang menguburnya dalam benak, sementara yang lainnya mungkin mau berbagi, pada siapa saja yang menyempatkan waktu untuk menerima.

Untuk saya? Bangun, dan selalu teringat untuk menyapa, sudah mengisi litani abadi itu.


Lewat mata yang masih mengantuk
Lewat dingin subuh menusuk
Lewat bantal berdaun hijau
Lewat mimpi yang belum usai
Lewat kasar kaos kaki tebalku
Lewat sesak rindu pelukmu
Lewat ingatan lembut bisik suaramu
Lewat pening pelipis dan sekujur dahiku
Ku melanjutkan
menyapa Nafasku


Terima kasih Tuhan
Aku masih hidup

Rabu, 02 Desember 2020

3 M

Sejak pandemi dimulai, muncul banyak sekali istilah baru, yang berkaitan dengan penyakitnya lah, penderitanya lah, dampaknya lah, kebiasaan barunya lah, segala macam, berisik sekali sampai berasa bisa bikin cabang ilmu baru di dalam ilmu Filsafat. Ilmu paling ajaib yang akhirnya, bisa juga saya pelajari sekarang, meski seperti biasa berujung dengan membawa lebih banyak pertanyaan tidak berjawab lagi.

3M, budaya adaptasi kebiasaan baru, cara termudah yang bisa dijalankan siapa saja untuk mencegah tertular Covid, awalnya menjemukan sekali untuk diikuti. Mengingatkan diri sendiri dan orang lain untuk selalu memakai masker, mencuci tangan sesering mungkin dan menjaga jarak, bukan hal mudah. Belum lagi kalau ada yang merasa diri kebal dan lantas bersikap bebal, membuat kita berusaha menambah kemampuan lebih, mengendalikan diri. Menahan diri sendiri supaya lebih tertib mengatur seluruh indera dan kebiasaan sendiri, supaya sedikitnya tetap bertahan sehat, waras, dan tidak muak dengan keadaan serta tim KB kebal-bebal tadi.

Menertibkan diri sendiri, bagi saya lebih ke arah menenangkan diri sendiri sembari mengingatkan bahwa segala kemustahilan adalah hal yang mungkin saja terjadi saat-saat ini. Virus tak kasat mata telanjang ini membuat banyak hal bisa terlihat dengan mata bahkan tanpa perlu terbelalak.
Melihat, bahwa nasib manusia sungguh serupa, terlahir, mesti berjuang untuk tetap hidup dan bertahan, atau hanya bisa berpasrah bila sang akhir sudah menjemput.
Memaksa kita untuk merasakan, bahwa bahkan segala daya, upaya, dana dan tenaga bahkan bisa memiliki batas.
Membuat kita mengerti, bahwa terkadang hanya harapan, doa, dan perasaan yang paling dalam saja yang bisa menguatkan kita pada saat kita berserah.

3M, mungkin bisa memiliki banyak versi untuk setiap orang, entah mereka menyadari, melakukan, atau mengabaikannya, memang kembali menjadi pilihan diri. Tapi bagi saya, melihat orang-orang terkasih berjuang keras hidup lagi, merasakan setiap nyeri, sesak, air mata, senyum mereka, dan mengerti betapa banyak berkat yang dialami, menghidupkan misteri menyenangkan tentang hidup sendiri.

Mengapa kita hidup? Ke manakah akan menuju kelak? Bagaimana nanti?



Untuk kakak-kakakku terkasih & semua pejuang COVID19. Semoga selalu diberkati Tuhan.

Selasa, 01 Desember 2020

Menuju Cahaya

Awal musim hujan tahun ini agak berbeda, mulai dengan malu-malu, tidak tegas seperti biasanya. Masih banyak hari cerah dan terik, sementara hujan dan badai kadang masih bisa dihitung jari. Bermukim di antara hutan berbatu karang dan kebun durian luas milik masyarakat berasa mewah sekali untuk saya. Menikmati udara dengan kualitas terbaik setiap hari - kecuali saat tetangga membakar sampah, ditambah suasana sunyi rumah di kampung - kecuali saat grup ibu-ibu kompleks bersenam aerobik dan ada tetangga yang konser sampai pagi, adalah kemewahan lainnya.

Malam ini, ada satu lagi bonus yang saya amati, serbuan laron sesaat setelah senja turun. Laron, fase bersayap dari rayap, musuh utama pemilik rumah berkayu (atau berangka kayu seperti milik saya ini), tahun ini keluar dan menyerbu lampu-lampu di kompleks dengan frekuensi lebih sering ketimbang sebelumnya. Sudah lebih dari lima kali pada awal musim penghujan ini.
Entah begitu besar populasi mereka selama pandemi ini, atau memang kompleks inilah yang menawarkan lebih banyak pendar kehangatan yang terdekat dengan liang-liang mereka, atau memang karena naluri mereka untuk mencari pasangan dan menyelesaikan siklus hidupnya, yang terpenting mereka keluar dari liangnya. Kegelapan liang membukakan jalan menuju sinar yang bisa mereka capai.

Setelah sukses keluar, mereka akan berupaya mencari pasangan dalam waktu semalam itu juga. Berhasil; membentuk koloni rayap baru, saat gagal; hidup mereka berakhir, sedikitnya menjadi penyambung hidup cicak, kadal, katak pohon, atau sebagai penghuni gudang makanan semut, saudara setanah berbeda liang. Hidup dalam keadaan buta, sibuk bekerja sepanjang umurnya di dalam lorong kayu dan liang gelap, menjadi anggota korsa paling berbakti kepada keluarga besarnya, dan tidak pernah komplen soal kedudukannya dalam kasta koloninya, hanya sebagian kecil sifat mahluk ujung tombak pengurai alami ini.
Hidup sederhana yang mereka jalani, luput dari pemikiran manusia, melibatkan banyak pihak dan banyak sistem teratur dan baku, melebihi system thinking dan model dinamis yang tidak cukup dipelajari dalam satu semester.
Mahluk mungil, yang berani keluar dan menjalani nasibnya, ternyata bisa jadi pelajaran berharga untuk manusia mumet ribet seperti saya. Saya, manusia yang sering sekali lupa kalau sangat dicintai Pencipta dan punya banyak rahmat, berkat dan anugerahNya, memang masih butuh sering berlutut, tunduk dan belajar dari lebih banyak ciptaanNya.


# Kalau mahluk sekecil ini saja berani keluar dari kegelapan menyongsong cahaya meski hidupnya masih penuh ketidakpastian, mengapa manusia sering memilih sebaliknya?


Pengingat untuk Senin, 30 Nopember 2020 – Hari I Novena St. Rafael

Jumat, 30 Oktober 2020

Menjaga Lilin

Semalam, waktu panasnya kenangan tentangmu lebih menyengat ketimbang cahaya lilin di atas lantai, aku menyerah. Terlalu banyak halaman yang belum selesai dibaca, huruf-huruf dan kata-kata berlarian tidak mau berhenti. Bahasa yang sama, bahasa yang berbeda, rumus yang sederhana, sampai yang hanya dimengerti oleh mesin, semua berebut ingin diperhatikan. Dan kembali rasa sesak di dada mulai menyerang, dengan nyeri dan sedikit kebas mulai menyerang lengan, bahu dan leher.

Malam Jumat yang tidak seperti biasanya, mengingat sudah ada niatan untuk menantikan sesuatu, entah tercapai atau tidak. Apa sebenarnya makna cahaya lilin di hadapan kali ini? Hanya sekedar penanda untuk menghitung sudah berapa kali listrik dipadamkan tanpa aba-aba? Atau pereda rasa pengap karena fobia gelap tidak pernah bisa hilang? Atau bisa jadi teman sumber harapan dan kekuatan yang menjaga lantunan doa-doa pasrah belakangan ini? Atau penyemangat supaya bisa membuat niatan untuk menanti waktu lewat tengah malam terwujud? Yang pasti,bukan sarana pesugihan yang makin banyak ditawarkan secara online di medsos dan gadget-gadget akhir-akhir ini. Terlalu banyak tanya untuk hanya sekedar cahaya hangat kecil ini. Dan karena melihat cahaya lilin kecil ini, ingatan tentangmu malah makin besar.

Kau, ingatan tentangmu, cahaya lembut yang menerangi lembar-lembar buku penuh tulisan usang berpuluh tahun lalu. Saat isi kepala dan hari-hari masih sederhana, kata dan makna masih begitu beragam, dan apapun selalu tampak menarik karena penuh gelisah masa muda.
Kau, ingatan tentangmu, cahaya yang terkadang suram dan sering terlalu terang saat mulai menapaki jalan pasir, berbatu, berliku, dan berusaha keluar dari banyak badai. Saat semua mulai merumit, dan kata mulai berbahasa dengan rasa yang berbeda, memasuki samudera yang terlalu luas penuh gelombang.
Kau, ingatan tentangmu, cahaya yang selalu ada di sana, sejauh pandangan mata, tapi tetap juga di dalam sini, menyala tenang dalam satu ceruk hati, tidak pernah padam meski berulang meredup karena jerih lelah. Saat menjaga nyalamu adalah satu-satunya yang menguatkanku dan melemahkanku sekaligus, di setiap tarikan nafasku yang sering tak tertahankan ini. Kutahu cahayamu selalu menghangatkan sangat banyak relung gelap dan dingin, dan karena itu aku harus rela berbagi.

Haruskah kuberhenti? Untukmu sendiri, perlukah kau menjaga lilinmu sendiri? Atau pernahkah? Sampai kapan? Atau masih perlukah kau menyalakan lilin? Jawabanmu? Lantas keputusanku menjaga lilin ini?
Sungguh mengesalkan sekali, melihat bayanganmu menyeringai dengan mata letih membayang dari tirai penuh renda di jendela. Baiklah, sekali ini keputusannya adalah menyerah, tidur, membiarkan lilin yang menyala terbakar pelan. Cahayanya menemani nyenyak tanpa mimpi malam ini. Tinggalkan tumpukan tugas dan ujian yang belum usai.

Hingga subuh tadi, lampu sudah menyala lagi, semua di-kembali-kan ke jalan yang benar, dan begitulah, apa yang diniatkan semalam akhirnya tidak tercapai, dan mesti disambung pagi ini.

Selamat ulang tahun, sosok cahaya yang selalu setia,
menyinari dan menghangatkan punggung dan wajahku,
meski terlewat dari menit pertama tengah malam tadi.
Tetaplah kuat cahayamu, dalam kegelapanmu,
dalam terang siangmu, setiap saat.
Semoga kasih, kekuatan, rahmat
dan segala yang terbaik selalu dianugerahkan Tuhan,
untukmu.
Amin.

Kamis, 01 Oktober 2020

Hal kecil, kenangan yang besar

Kita sering tidak menyadari bahwa di dalam hidup kita, justru hal-hal kecil yang menyimpan kenangan yang begitu besar dalam ingatan kita. Hari ini saya mengalami salah satunya. Ada beberapa rumpun bunga di halaman pastoran gereja yang membawa ingatan saya melayang begitu jauh ke masa lebih dari 30 tahun lalu. Masa ketika hidup belum seriuh ini, dan masalah yang dihadapi hanya sejauh bagaimana menemukan kaus kaki yang lengkap pasangannya, pekerjaan rumah yang belum beres, dasi dan topi yang selalu lenyap saat dibutuhkan untuk upacara, atau bagaimana cara mendapatkan jajanan di tengah himpitan senior-senior yang berebutan di kantin sekolah. Salah satu rumpun itu adalah Turnera subulata Sm. - bunga pukul delapan, white buttercup, sulphur alder, politician's flower adalah sebagian nama lokal yang menyemati anggota famili Passifloraceae, bunga yang masih berkerabat dengan markisa inilah yang memicu ingatan masa kecil saya. Setiap Minggu pagi, di masa-masa hidup yang simpel itu, bunga-bunga ini selalu menguncup saat saya lewati ketika berangkat dan selalu mekar dengan kekuatan penuh saat saya melaluinya waktu misa usai. Jaman itu, angkutan umum masih jarang, apalagi di hari Minggu, pagi-pagi. Kekesalan karena mesti mengikuti misa paling pagi, harus berangkat dengan berjalan kaki dalam keadaan mengantuk dan seringkali disertai perut yang masih lapar, agak berkurang melihat rumpun-rumpun bunga tersebut. "Tunggu nanti pulang, pasti sudah mekar semua, Li", raut wajah Mama yang tersenyum memegang tangan kecil saya bersama-sama menuju gereja. Dan benarlah, seusai misa, saya pasti berjalan pulang dalam keadaan riang sambil sepuas mungkin memandangi kuncup-kuncup tadi bermekaran dengan kekuatan penuh, tepat pukul delapan, setia, tidak pernah ingkar. Kebiasaan itu sedikit berubah, setelah saya pindah lebih jauh, dan kami lebih sering berangkat dengan angkutan umum yang makin banyak. Saya hanya bisa memandangi rumpun-rumpun itu, berbagi senyum dengan Mama sambil menunjuk,"Mereka masih ada, Ma. Mekar, banyak-banyak."
Namun, hampir tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, juga di kota sekecil Jayapura. Sang pemilik halaman tempat sang bunga pukul delapan tersebut memutuskan menggantikan rumpun-rumpun itu dengan bambu-bambu halus yang lebih nge-trend saat itu. Saya kehilangan bunga-bunga yang mekar selalu tepat waktu, tanpa peduli cuaca itu akhirnya. Sampai akhirnya bahkan mulai lupa karena melewatkan waktu mekarnya akibat keseringan bangun terlambat, lantas misa siang sendirian, tanpa Mama yang tetap setia dengan ritual mingguannya. Hari-hari pun berlangsung penuh kesibukan, tidak sesederhana dulu lagi. Dan hari ini, hal-hal kecil itu muncul lagi, hanya karena rumpun bunga sederhana yang berbunga mengikuti jadwal hariannya, tidak lebih, tidak juga kurang. Sempat terpikir, apakah sebenarnya yang menjadi kenangan? Bunga kecil sederhana, sosok Mama yang sabar, atau kenyataan bahwa keduanya selalu ada di sana, setiap Minggu pagi, setia, tidak ingkar, mengingatkan untuk tetap semangat melalui hari yang tidak pernah luput dari perubahan, bersama-sama menyapa Sang Pemilik Hidup karena telah menguatkan dan menunjukkan cinta-Nya? Saya rasa itulah ringkasnya. Hal-hal kecil, tapi dengan kenangan menghangatkan hati, memang mungkin hanya itu yang perlu kita peluk selamanya.
Hari ini, saat kenangan dan rindu makin kental Magnificat

Kisah Kita

Bernafas, namun tak berasa hidup. Berjiwa, namun berasa tak bernyawa. Menjalani hari hanya menghitung tiap menit, berusaha melupakan bahwa...