Sabtu, 15 Mei 2010

this is it

unavoidable point
can't go anywhere
nor turn anymore

feel IT begins to another END

chills the bones
dries the blood

NOTHING has left
d o n e













I am.

Kamis, 06 Mei 2010

CUKUP

Suatu hari, seorang ayah yang sangat kaya raya mengajak anak istrinya untuk berlibur di sebuah pedesaan terpencil yang jauh dari keramaian. Untuk mencapai desa tersebut mereka harus menyeberang sebuah sungai yang sangat deras dengan meniti sebuah jembatan sederhana yang tersusun dari balok-balok kayu.

Tentu saja, di desa itu tidak ada hotel berbintang atau akomodasi lengkap yang biasanya mereka dapati bila menginap di tempat wisata. Untuk tempat tinggal, sang ayah memilih sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Di sana mereka ikut bekerja bersama-sama sang petani, ikut bercocok tanam, mandi di sungai, dan lain-lain. Pokoknya semua kebiasaan dan kegiatan masyarakat setempat, mereka ikuti.

Sepulangnya dari tempat itu, sang ayah bertanya kepada anaknya.
AYAH : “Bagaimana dengan perjalananmu ?”
ANAK : “Wah……luar biasa sekali, Yah !”
AYAH : “Apa yang kamu dapatkan dari perjalanan kita ini ?”
ANAK : “Saya melihat sebuah kenyataan bahwa kita hanya memiliki seekor anjing sedangkan mereka memiliki 4 ekor anjing.
Kita memiliki sebuah kolam yang panjangnya hanya sampai ke tengah-tengah taman sedangkan mereka memiliki sungai yang tidak ada batasnya.
Kita memasang lampu-lampu taman yang dibeli dari luar negeri sedangkan mereka memiliki bintang-bintang di langit untuk menerangi taman mereka.
Kita tinggal dan hidup di tanah yang sempit sedangkan mereka memiliki tanah sejauh mata memandang.
Kita memiliki pelayan yang melayani setiap kebutuhan kita sedangkan mereka melayani diri sendiri.
Kita membeli makanan yang akan kita makan sedangkan mereka tidak perlu membelinya karena mereka menanamnya.
Kita memiliki pagar tembok dan satpam yang berjaga-jaga selama 24 jam sedangkan mereka memiliki teman-teman yang menjaga kehidupan mereka.”

Mendengar penjelasan anaknya ini, mata sang ayah berkaca-kaca dan tak mampu berkata apa-apa. Dalam hatinya berkata “Anak-ku sungguh bijaksana, sekarang aku tidak takut untuk melepaskannya ke manapun.”
Tak berapa lama, sang anak menambahkan, “Terima kasih, Yah. Akhirnya aku tahu betapa miskinnya diri kita”.

Cerita kiriman teman di atas mungkin tidak terlalu nyambung dengan lanjutan postingan ini, tapi tak apalah, semoga setelah dibaca, (terpaksa) bisa nyambung.

Rasanya satu-satunya penyakit yang mampu menjangkiti semua manusia adalah alergi terhadap perasaan dan kata cukup. Tidak pernah merasa cukup, atau terlalu sulit mengucapkan kata cukup. Apapun tampaknya tidak cukup untuk ukuran manusia.

Tidak cukup waktu untuk menyelesaikan semua impian kita, tidak cukup ruang untuk mewujudkan harapan kita, tidak cukup senang dengan hasil apapun yang kita dapat, tidak cukup puas dengan rejeki kita, tidak cukup bahagia dengan orang lain, lalu entah apalagi... semuanya hanya tidak cukup baik buat kita.

Terlalu sering kita melupakan kelebihan; apa yang kita miliki, dan hanya berkonsentrasi dengan kekurangan; apa yang kita tidak miliki. Lantas tidak lagi bersemangat dan mengisi hari-hari kita dengan bersungut. Satu-satunya obat dan terapi terbaik untuk menyembuhkan penyakit ini adalah bersyukur atas apa yang sudah dicukupkan Sang Kuasa.Ini cara paling sederhana untuk memperbaiki hidup; karena kita, dan juga orang lain, tidak pernah diciptakan dengan kekurangan.

Seringkali kekurangan seseorang akan menjadi anugerah bagi orang lain, dan kelebihan seseorang akan menjadi anugerah bagi orang lain lagi.
Mengucap syukur dalam segala hal,
p a s t i...
akan mencukupkan dan mendatangkan kebaikan atas diri kita.


















Thanks God,
it’s been a half of full circle now,
and I only have a heart
wish it’s still good enough
for everything.

Kisah Kita

Bernafas, namun tak berasa hidup. Berjiwa, namun berasa tak bernyawa. Menjalani hari hanya menghitung tiap menit, berusaha melupakan bahwa...