Selasa, 19 November 2024

Tidak Pernah Usai

Berdoalah dengan tidak jemu-jemunya, karena pertolongan Tuhan dan jawaban doa kita biasanya melalui proses, “segera” itu adalah sesuai waktu dan rancangan Tuhan, bukan manusia. Meski berkali-kali kita memintakan yang terbaik menurut kita, kita tidak pernah mengerti rancangan dan jalan seperti apa yang tersedia untuk kita jalani pada akhirnya.

Kalimat itu menjadi pengingat yang terus-menerus berulang dalam minggu-minggu terakhir di tahun 2024 ini. Doa, berpikir tentang doa, berbicara dan berbagi sesuai doa-doa yang dipanjatkan, atau selanjutnya bertindak sesuai harapan dan impian yang kita doakan, seringkali berubah-ubah, sangat dinamis dalam perkembangannya. Saya menemukannya berkali-kali sejak memutuskan untuk kembali ke Manokwari, berkunjung, atau pulang ke rumah sendiri setelah lama ditinggalkan. Hampir 10 tahun yang lalu saya memutuskan membeli rumah ini dengan tujuan utama setidaknya mengurangi resiko kenaikan uang kos atau kontrakan yang bisa terjadi setiap tahun. Juga untuk memuaskan keinginan memiliki barang-barang pribadi tanpa direpoti pendapat orang lain. Ada banyak alasan lain juga, tapi yang pasti, waktu berlalu dan semua alasan yang tampaknya bagus, baik, sempurna itu sudah tidak penting lagi. Semua berubah, ada yang drastis, ada yang perlahan, beserta segala konsekuensinya.

Di tahap ini, saya kembali dihadapkan pada kewajiban untuk mencari arah baru, posisi dan status yang harus saya terima dan pahami sebagai bagian untuk keluar dari zona nyaman. Yang ajaibnya, adalah cara terbaik untuk tetap bertahan hidup. Saya benar-benar harus pindah, belajar menjadi sangat iklas, ringan tanpa beban, penuh senyum mulai melepaskan segala yang tampaknya lebih diperlukan pihak lain, sembari membuang yang tidak penting dan membawa hanya yang paling dibutuhkan.

Pulang ke rumah sendiri, kali ini menjadi masa belajar berdamai dengan semua situasi dan kondisi, memilih dengan banyak prioritas dan peluang, memanfaatkan segala kesempatan serta bersyukur atas semua orang dan waktu yang tersisa. Refleksi yang ramai, padat kesan dan serasa tidak habis-habisnya.

Saya akhirnya mengetahui antara lain, 1) tubuh saya tidak selalu sekuat nafsu dan semangat saya, 2) dukungan doa, waktu, tenaga, niat dan orang-orang adalah kumpulan faktor yang teramat penting dalam membereskan rencana yang awalnya terlihat mustahil, 3) selalu wajib ada banyak alternatif rencana untuk menjaga proses tetap berjalan, dan lain-lain, sampai ke hal yang ke x) kita perlu berhenti sejenak kalau itu memang diperlukan. Saya menemukan, bahwa kesempatan hidup ini jadi gabungan beberapa perjalanan, kegiatan, istirahat yang tidak jauh-jauh dari unsur hilang, ketemu yang hilang, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, berusaha beberes dan bebenah, supaya semua bisa jalan meski kadang tidak sesuai rencana, dan bersyukur saat tiba di titik pencapaian.
Gambar-gambar yang ada dalam postingan ini sebenarnya hanya merangkum kisah—kisah pendek dari rangkaian kejadian belakangan ini. Saat beberes rumah yang sekian lama ditinggalkan, saya akhirnya menemukan GPS lama, alat yang berkali-kali saya minta bantuannya untuk dicarikan oleh penjaga rumah saya supaya saya bisa menggunakannya untuk penelitian saya yang lalu. Berkali-kali dicari tidak ketemu, tetapi langsung ketemu saat saya membuka laci lemari buku yang sudah usang. Dalam keadaan sangat prima, meski saya sempat khawatir ada gangguan akibat saya lupa mencabut baterai selama penyimpanannya. Fix, si GPS seperti berpesan semua baik-baik saja, siap menentukan posisi dan arah ke depan, di manapun ia digunakan nanti. Sungguh suatu refleksi yang #sotoy
Kisah selanjutnya, saya yang selama ini selalu parno dan punya bakat semi OCD, akhirnya berani dan bisa menerima hasil tidak sempurna dari dapur darurat saya. Dan di atas meja makan merangkap meja kerja dan belajar saya akhirnya tersaji secara lengkap semua ini; sup ayam seadanya yang luar biasa pedas karena ketumpahan lada bubuk sebungkus sementara saya lupa sudah menggunakan jahe beberapa ruas untuk merebus ayam, nasi dingin yang sekali ini bertempat dalam gelas plastik tetangga, ditemani bunga-bunga di dalam kain taplak pemberian. Ini memang bukan cerita soal makanan saja, tapi dengan segera mengingatkan seperti apa perasaan belakangan ini, di mana sebenarnya diri harus berada. Di tempat sekolah, di tempat bekerja, atau di tempat (harapan-impian) domisili. Terlalu kusut.

Ada lagi aroma pindahan yang kental, yang baru bisa saya terima dan jalani setelah penyakit lama beres dari kambuhan. Sesak napas, asma, sakit kepala, demam hingga pegal seluruh tubuh, gangguan yang kelihatan dan tidak, menemani setiap upaya memilih barang dan packing. Membereskan barang jadi berasa ke membereskan isi kepala dan mengatur isi hati. #lebay dan sedikit #gombal memang, tapi refleksi ini sangat terasa. Karena setiap barang yang lewat dan tersentuh, punya cerita masing-masing, menyangkut orang, masa dan kenangannya. Bahkan suasana fajar dan senja, semua berebutan untuk dilihat dan dikenang.

Hidup, sekali lagi, menunjukkan betapa berliku dan jauh perjalanannya. Hanya dengan rasa beryukur dan merasa terberkatilah semua bisa kelihatan mulus dan penuh cahaya. Mungkin tidak kelihatan teman, tapi pada dasarnya selalu saja ada yang memperhatikan, dan mengarahkan. Karena setiap sakit atau nyeri, bahagia atau senang, doa dan keluhan, setiap permintaan atau setiap usaha, apapun mestinya tidak pernah sia-sia bila disyukuri.

Postingan ini sebenarnya ditulis berdasarkan refleksi tentang kisah seorang hakim yang menyerah pada "gangguan" permintaan tiada akhir dari seorang janda, sesuai bacaan liturgi Sabtu, 16 Nopember 2024. #mencariarah #bukansoalmakanan #transisi #movingforward #bertahan #pulang #bukandimana-mana

Sabtu, 26 Oktober 2024

Cantik Mungil

Persis dua minggu yang lalu saya berniat membuat postingan ini. Aslinya hanya karena pernah berjanji pada diri sendiri untuk teratur menulis, berbagi refleksi pengalaman harian yang kadang terlalu ramai dan bakal hilang kalau tidak dituliskan. Sayangnya, begitu banyaknya ide dan gagasan yang muncul setiap hari tidak secara langsung membuat saya bisa lancar dan segera menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terlalu banyak halangan dan overthinking, seperti biasa, menjadi dalih dan rintangan utama menyelesaikan niatan mulia berbagi cerita untuk orang lain. Saya kembali ke ritual lama, bermalas-malasan, mengumpulkan sebanyak mungkin semangat tambahan, pemicu bahkan pertanda untuk menggerakkan niat menulis kembali. Dan akhirnya baru bisa hari ini, setelah ada banyak lampu rasanya menyala bergantian dalam kepala.

Semua orang, saya yakin, pasti memiliki masalah dalam kesehatan tubuhnya, entah besar atau kecil, serius ditangani atau dibiarkan saja, tapi p-a-s-t-i a-d-a. Saya juga punya, banyak, dan kelihatannya muncul makin beragam, dengan skala berbeda seiring waktu. Saya menganggap hal ini sebagai suatu yang wajar, karena tubuh ini aslinya juga tempat bermukim banyak sekali mahluk hidup lainnya. Yang pastilah seringkali tidak disadari, sampai saat mereka berulah. Saya menyadari hal ini, ajaibnya, baru sekitar 15 tahun lalu, bukan karena ada penyakit yang kambuh, tapi justru karena harus menyelesaikan tugas esai menyangkut interaksi mutualistik vs interaksi parasitik dari Mata Kuliah Ekologi dan Evolusi, di kampus jauh di benua seberang lautan. Banyak hal menarik yang saya temukan setelah menelusuri pustaka-pustaka pendukung esai tersebut, tapi ada salah satu yang membuat saya mendapat pencerahan. Ada hubungan yang sangat erat dan khas antara parasit yang menyerang dengan tubuh inang tempatnya bersarang.

Pada suatu waktu, mungkin saja terjadi bahwa sang mahluk yang dianggap parasit berubah menjadi simbion, organisme yang hidup bersama dengan inangnya, dan membawa pengaruh menguntungkan. Sebuah mekanisme alami yang terdokumentasi pada banyak pustaka dari beragam riset di seluruh dunia. Saat itu saya hanya berhasil menemukan satu pesan sederhana, bahwa segala sesuatu di alam ini bersifat relatif, sangat berpeluang mengalami perubahan. Perubahanlah yang memiliki sifat tetap, akan terus terjadi. Kita yang berhak mengamati dan mencari hikmah serta pelajaran di balik semua perubahan tersebut.

Lantas, apa hubungannya saya mengobrol begitu jauh ke masa bertahun lalu, setelah menghubungkan dengan refleksi 2 minggu lalu itu? Saya menemukan bahwa ada banyak hal kecil yang seringkali luput diperhatikan, tapi mampu menunjukkan kegigihannya dalam bertahan. Pertama, salah satu penyakit jamuran yang saya anggap tidak penting, sudah lama sembuh, ternyata kambuh lagi, dan menyebalkan sekali karena mengurangi kenyamanan hidup belakangan ini. Benar-benar hal kecil, tapi pertanda besar bahwa saya sudah mulai abai pada beberapa hal akhir-akhir ini. Mungkin saja komposisi makanan dan minuman yang saya masukan dalam tubuh, atau gaya hidup yang mengurangi ketahanan kesehatan kulit saya, atau justru ada perubahan cuaca yang tidak segera saya imbangi dengan perubahan perilaku. Mahluk sekecil jamur kulit, kambuh pelan-pelan karena keteledoran inangnya, dan gigih bertahan sampai minta diatasi kalau si inang, saya ini, mau hidup tenteram. Konyol.

Kedua, dua minggu lalu itu, persis seusai hujan dan angin badai yang sukses menggugurkan mangga-mangga madu di halaman belakang, saya menemukan banyak keindahan kecil di jalur jalan pagi saya. Beberapa jenis bunga dari semak liar dan rerumputan yang masih mekar dan bertahan, tetap tampil cantik menatap matahari pagi. Dengan ukuran bunga yang tidak sampai seukuran kuku, semuanya bertebaran, tergoyang angin, masih bertemankan embun sisa hujan sebelumnya. Benar-benar mahluk mungil, tapi cantik, pertanda besar bahwa kemampuan bertahan itu tidak selalu terkait masalah ukuran, tapi apa yang melengkapinya untuk tetap bertahan. Akar serabutnya-kah? Atau susunan percabangannya yang lentur? Atau ikatan jaringan dedaunannya yang menyebar? Pertanyaan iseng tak berujung ini mungkin tidak penting, tapi dari sudut alam makro, banyak detil cantik yang terekam. Seperti biasa, salah satu penyakit bawaan saya kambuh, kepo untuk mengungkap, namanya, ciri penting lainnya, asalnya, dan adakah manfaatnya, karena pada dasarnya teorema “Semua yang diciptakan Tuhan pasti ada gunanya” tidak pernah lepas dari alam bawah sadar saya.

Bling, identitas mahluk-mahluk berbunga kecil dan tidak penting ini ternyata punya informasi yang menarik. Ada yang bernama bagus, ada yang saling berkerabat, ada yang berasal dari negeri yang jauh, ada yang berbakat sebagai pengganggu, tapi semuanya punya kandungan biokimia yang kalau diusut-usut, bisa dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit tertentu. Dan ternyata memang sudah ada yang menjadi bahan obat tradisional di tempat lain. Rasanya tidak sia-sia saya memaksakan diri menekuri rute jalan pagi, lalu berjongkok-jongkok merendahkan badan untuk mengambil foto bunga-bunga cantik ini.

Mengharapkan pertanda, menunggu pemicu, melewatkan bukti-bukti kecil, mengabaikan masalah sampai akhirnya memperoleh pemahaman dan solusi sendiri, adalah sebagian dari daftar litani hidup yang umum terjadi. Menempatkan di mana mata fisik dan mata hati kita mesti berada supaya bisa terhubung sekaligus dengan isi benak dan perasaan, kembali pada keputusan masing-masing. Banyak tanda-tanda yang selalu tersedia di hadapan kita, sederhana, canggih, kecil, besar, hal remeh, menyolok mata, semua bermakna, hanya kalau kita berusaha mencarinya.

Disclaimer: nama species dari internet, kiri ke kanan dari atas ke bawah, berpeluang dikoreksi sesuai nama yang baku/sinonimnya:Oxalis barrelieri, Ipomoea triloba, Cyanthillium cinereum, Oxalis dillenii

Refleksi bacaan Alkitab Harian Senin, 14 Oktober 2024 Galatia 4:22-24, 26-27, 31-5:1 dan Lukas 11:29-32

Selasa, 08 Oktober 2024

Selalu Ada

Dalam setahun ada satu bulan yang membawa perasaan paling campur-aduk bagi keluarga besar kami. Bulan Desember, bulan paling akhir, bulan paling sibuk dibanding bulan-bulan lain sepanjang tahun sekaligus bulan paling penuh dengan kenangan yang harus diterima, entah kadang masih terasa menggetirkan, atau justru menggetarkan hati. Dan saya ingin berbagi cerita ini pada bulan Oktober, dua bulan sebelumnya, seakan mempersiapkan diri untuk memilih posisi perasaan apa yang harus saya jalani pada saatnya tiba.

Bulan Desember diawali dengan kenangan kepergian lelaki paling penting dalam hidup saya, Papa, yang meninggal dengan tenang setelah sakit dan dirawat beberapa waktu lamanya. Kondisi yang disembunyikan dari saya karena saat itu saya sedang mempersiapkan diri untuk ujian akhir semester SMA di tanah Jawa. Kenangan getir, karena saya baru bisa pulang mengunjungi makamnya di Jayapura 2 minggu setelah kepergiannya, saat ujian saya sudah usai. Menjadi yang terakhir tiba di rumah untuk mengenang beliau, adalah batu pemberat pertama yang mengisi kantung hati saya yang kecil ini, yang saya bawa ke mana-mana, bertahun-tahun setelahnya.

Tahun berlalu, sampai pada bulan Desember ke-sekian, sosok lelaki terpenting berikutnya juga harus pergi untuk selamanya. Satu-satunya kakak laki-laki kandung yang saya punyai harus menghadap Tuhan setelah dirawat akibat penembakan oleh mantan staf di LSM kesehatan tempatnya bekerja. Berpulang sendirian di tanah orang, benua yang jauh dari tanah kelahiran, di akhir bulan Desember. Kali ini benar-benar kegetiran yang menggetarkan hati karena begitu banyak kejadian, drama, rahasia yang terungkap ikut mewarnai kepergiannya, sekaligus mengantarkan kepulangannya dari Addis Ababa ke Jakarta saat itu. Batu kecil berat berikutnya menempati posisinya dalam kantung hati saya lagi.

Dua kenangan yang mengawali dan menutup bulan Desember itu sempat membuat kami semua yang ditinggal mesti rajin-rajin menguatkan diri, menegarkan hati dan mencari hikmah terbaik untuk saling memberi penghiburan lantas hidup terus. Kami mesti menjalani cara kami masing-masing untuk bisa melepaskan dengan iklas, menerima dengan penuh syukur bahwa itulah jalan terbaik dariNya.

Akhir bulan Desember beberapa tahun sesudahnya lagi membawa kenangan menggetarkan lainnya. Mama jatuh dan mengalami patah tangan, digips dan harus beristirahat hanya sehari sebelum malam Tahun Baru. Kecelakaan di dalam rumah, di satu-satunya tempat yang kami percayai sebagai tempat teraman baginya di masa tua. Berlanjut dengan penurunan kondisi berbulan-bulan karena cedera tangannya, Sayangnya, cedera itulah yang menemani beliau sampai berpulang menjumpai kekasihnya. Saya kembali kehilangan pelukan terakhirnya karena baru bisa tiba sehari setelah kepergiannya. Sekali ini rasanya batu besar dan berat yang berguling cepat masuk dalam kantung kecil hati saya.

Tidak sampai tiga tahun setelahnya, ada kenangan baru yang menyusul. Seorang kakak saya mengalami gejala tumor, yang disadari dan diketahuinya pada bulan Desember pula. Tumor ini berkembang menjadi kanker, mengganas dengan cepat dan hebat, lantas mengisi hari-berbulannya dengan penderitaan nyaris tak tertanggungkan. Menangis dalam diam, kehilangan keceriaan, kesulitan tidur dan beristirahat, memaksanya mengiklaskan rambut tebal dan lemak-daging di tubuhnya adalah sebagian pengalaman yang harus ditanggungnya, dan harus kami saksikan setiap hari. Menemaninya melewati masa-masa sulit dan penuh kesakitan, persis seperti merapel sekaligus jalan salib berulang-ulang, masa prapaskah dan masa adven berturutan, selama berbulan-bulan sampai kepergiannya. Saya tidak berani mengingat tambahan batu-batu kecil yang bergiliran masuk ke dalam kantung hati saya, rasanya kantung itu makin sesak keberatan, bahkan siap robek.

Sebelum seluruh kejadian itu, bulan Desember adalah bulan yang selalu menyenangkan, penuh suasana persiapan menyambut Natal dan libur akhir tahun. Suasana beraneka macam ada di rumah, di gereja, di sekolah, di kantor, di mana saja di tanah Papua, dan kadang kalau sedang di luar Papua, suasana liburan akhir tahun akan tampak jelas di pusat-pusat perbelanjaan. Bulan Desember penuh dengan segala kemeriahan, harapan, perjumpaan, semangat berlatih menyanyi, berbagi dan juga melayani. Senyum, tawa riang, kegembiraan, dan riuh keramaian selalu ada.

Tapi sekarang, semua hitung mundur menuju bulan Desember membawa rencana, cerita dan perundingan sendiri di dalam kepala. Posisi mana yang harus saya lewati untuk sampai pada fajar pertama di tahun berikutnya, bila saya masih diijinkan sampai ke sana…

Dan ajaibnya, belakangan ini saya menyaksikan kenangan-kenangan baru yang berbeda untuk bulan Desember, ada kakak yang berupaya mempersiapkan Natal jauh sebelum masa adven, ada usaha keras ponakan dan semua anggota keluarga untuk bisa mudik dan merayakan kebersamaan selama bulan Desember dengan sebisanya, ada banyak pengalaman mengubah diri, berbagi dan melayani yang terus ditambahkan setiap tahunnya. Semua usaha yang diupayakan agar bulan Desember bisa menjadi penutup tahun dengan dipenuhi syukur, rahmat dan sukacita.

Memilih sibuk dengan kepahitan dan kenangan buruk, hiruk pikuk isi kepala dan hati, respon orang lain dan masalah duniawi, atau duduk tenang, mendengarkan dan merasakan sampai di mana dan mau ke mana kita dituntun oleh suara hati dan kebaikanNya. Kita tidak bisa memilih seperti apa takdir dan memaksa nasib kita selalu ramah, tapi kita bisa menyikapinya dengan sebaik-baiknya, sebenarnya hanya kita yang dikaruniai nasib dan takdir seunik ini.

Karena semua kenyataan tentang hidup ini, entah keberadaan, keberlangsungan dan kepergian, dengan cara apapun, akan SELALU ADA. Kita tidak bisa menghindari dan melarikan diri sejauh apapun.

Sekarang, seringkali kantung kecil di hati itu masih terasa sangat berat, selama saya membiarkannya tetap berisi batu pemberat yang menguji saya melangkah lebih jauh. Tapi setiap waktu pula, saya ingin merubahnya menjadi bunga-bunga yang mengharumkan-menyenangkan hidup, atau sayuran-buah yang menyehatkan tubuh hati pikiran, meringankan langkah ke depan. Mungkin saya, juga orang lain bisa ikut merasakan pengaruhnya.

Selalu ada waktu untuk menentukan pilihan dalam menghadapi masalah dan menjalani hidup, dan pilihan kita sendiri yang akan menentukan akhirnya.

Refleksi dari bacaan hari ini Galatia 1:13-24 dan Lukas 10:38-42

Gambar 1-2 di GKI El Elyon Kotaraja ("El-Elyon" - "Tuhan Yang Maha Tinggi"), Gambar 3 di Klinik Medika Jayapura, Gambar 4 di Saga Mall Abepura.

Jumat, 27 September 2024

Dalam Selembar Foto

Sampai hari ini, sudah hampir dua minggu saya merasa tidak bisa cukup tidur pada malam hari. Bukan hanya karena selalu terbangun pas jadwal jaga air PDAM, tiga kali seminggu yang seringnya lewat tengah malam dan bikin susah tidur kembali, tapi sepertinya saya kena gangguan tidur. Hal yang paling saya khawatirkan selama ini, karena bagi saya, tidur cukup adalah obat pertama dan terbaik untuk setiap masalah saya. Saat kepala berat berpikir, atau badan greges; panas-dingin tidak nyaman tanpa tahu penyebab, atau saat migren dan badan pegal-pegal; yang makin sering terasa sejak beres operasi, saya pasti memilih tidur lebih dahulu sebelum mencari obat. Tapi sekarang semua itu makin sulit. Saya hanya bisa berupaya menanggungnya dengan menambah tidur di pagi atau siang saat lelah sekali, banyak minum air putih dan stretching, atau banyak jalan santai di sekeliling rumah emak yang besar ini.

Efek lain yang tidak bisa dielakkan akibat kurang tidur adalah menjalani hari dengan perasaan melayang dan kadang-kadang merasa sedikit halu. Perjuangan untuk mencapai konsentrasi akhirnya menjadi santapan harian rutin. Kadang saya membuat selingan, agar bisa mengalihkan fokus dan menyegarkan badan dan isi kepala. Dan anehnya, keinginan untuk mengerjakan selingan ini, selalu muncul begitu saja, tanpa rencana. Setiap kali, saya berupaya tidak menolak menghindarinya sesuai pesan pastor pembimbing rohani saya, Latih Kepekaan dan Rendah Hati, bersiap menerima dengan iklas dan sukacita atas apa yang akan muncul setiap saat.

Pagi ini saya mendapat dorongan untuk latihan vokal sendiri, menyanyikan lagu Pada WaktuNya (Henry Sutjipto) keras-keras di dalam rumah. Berulang-ulang sampai lelah sendiri. Lagu ini saya pilih karena kebetulan bacaan liturgi hari ini pas temanya sekaligus perikop favorit saya. Saya melanjutkannya dengan membongkar koleksi buku-buku tebal berdebu dalam karton di gudang menjahit emak. Saya menemukan beberapa buku yang, waaah, memang selama ini saya cari, dan saya bahkan tidak ingat ada dalam koleksi beliau. Di atas meja, sambil bersiap sarapan, saya membersihkan buku-buku itu dan membukanya satu-persatu, menemukan banyak sekali harta karun. Saya baru ingat lagi, kalau keluarga besar saya punya hobi berat membaca, semua punya genre berbeda, dan selalu bikin rumah susah rapi karena banyak buku-buku yang terletak di mana-mana, meski sekarang sebagian besar sudah di dalam kardus-kardus di gudang.

Harta karun paling indah yang saya temukan adalah begitu banyak foto keluarga dan kerabat serta kartu-kartu ucapan hari raya yang dijadikan pembatas buku. Begitu banyak kenangan yang disimpan rapi di antara lembar-lembar sarat gagasan di buku-buku tua koleksi emak saya itu. Dan ada satu lembar foto yang menghentikan semua kesibukan saya, membuat air mata saya langsung jatuh

Ini adalah foto kenangan saat saya masih kuliah, awal tahun 1996, semester 2, diambil di Taman Koleksi Kampus IPB Baranangsiang, masa damai sebelum jadi pusat perbelanjaan besar sekali di jantung kota Bogor. Wajah-wajah teman-teman yang baru belajar dan berjuang bersama hampir setahun. Segar sekali. Dan saya menemukan foto ini hari ini, dengan mata berkaca mengenang salah satu yang telah lebih dulu pulang dalam pelukanNya karena lupus, seorang lagi sedang berjuang bertahan hidup karena kanker stadium lanjut, seorang lagi sedang bertahan dengan terapi mingguan supaya bisa stabil kondisinya, seorang lagi benar-benar hilang kontak, dan saya sendiri dengan pergumulan hidup saya. Waktu telah memelihara dan memaksa kami melangkah begini jauh

Selembar foto, menimbulkan segala rasa, saling bertolak belakang, tentang rumitnya hidup masing-masing, banyak sekali kenangan, kerinduan, rasa bersalah, dan harapan ikut muncul. Foto ini, bercerita dan mempertanyakan dalam diam, tentang penyelenggaraan Tuhan, tentang relasi dengan orang lain dan dukungan lingkungan sekitar, juga tentang seluk-beluk kehidupan semua obyek di dalamnya. Bagaimana jalan kami berbeda-beda setelah terpisah dan masih terus berjuang untuk mencapai tujuan akhir yang sama nanti, entah kapan. Mengharukan, karena saya ikut memperkirakan pembatas buku berupa foto adalah bentuk kesediaan seorang almh emak mendoakan anaknya setiap kali beliau temukan ketika buku-buku tua ini beliau buka dan baca.

Satu hal yang pasti, bukan hanya sedih dan terharu, tetapi rindu juga akan selalu ada hanya karena foto selembar ini.

Refleksi hari ini, setelah berjumpa, membersamai dan mengingat banyak orang dan rasa melalui selembar foto. (Pengkhotbah 3:1-11 & Lukas 9: 18-22)

Yang ada di dalam foto (ki-ka): saya, Ellyn Katalina Damayanti (semoga bisa bertemu), almh Tiur Helen Rosmawati Aritonang (Wete, damai di surga e sist), Doris Marsintauli Pardede (peluk paling hangat, erat dan penuh sayang untuk dirimu, pejuang tangguh), dan Wulandari Dwi Utari (salam sayang juga untukmu, jangan menyerah ya Lil), Semoga Tuhan menjaga kita semua. Amin.

Rabu, 18 September 2024

Survei Tokoh

Dari sekian banyak hasil pencerahan sejak pertama kali membuat blog ini, kali ini saya ingin memulai suatu perjalanan baru yang selalu saya impikan sejak lama. Perjalanan yang berawal dari titik nol, untuk terus menjadi kosong, supaya selalu ada kesempatan untuk terisi sejenak, bernafas dan bergolak hidup, lantas mengalir untuk mengosongkan diri lagi, untuk bersiap mengalami terisi kembali. Berangkat dari, selalu berada, terus berjalan dan bersemangat menuju titik nol. Mungkin tidak banyak yang berminat membaca, tidak apa, karena keinginan saya hanyalah berbagi, dan saya sangat memahami, apa yang dibagi tidak selalu menjadi bagian yang diharapkan. Saya ingin memberikan ruang untuk kerinduan, kegelisahan sekaligus kelegaan karena penerangan dalam kekusutan di dalam kepala di laman-laman postingan ini, berdasarkan pengalaman batin dan iman saya. Dan kali ini, saya memulainya dengan naskah yang menarik minat saya saat pelatihan sebelumnya. Bisa dibaca di postingan sebelum ini. Bukan renungan lengkap, tapi hanya ilustrasi yang meminta kita masing-masing mengambil kesimpulan sendiri untuk hidup kita.

Setiap orang yang pernah menjadi peserta suatu kegiatan, dengan materi yang banyak dan beragam, pemateri yang punya gaya menyajikan yang unik, didukung dengan segala jadwal kegiatan yang padat dan difasilitasi dengan panitia yang berdedikasi pasti membutuhkan evaluasi pada akhirnya. Bukan tanpa maksud, tapi sebagai dasar untuk perbaikan dan pengembangan di kesempatan berikut, karena, pastilah, setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang, kerja keras dan dana memerlukan penghargaan dan pencapaian tujuan. Evaluasi ini muncul dalam bentuk penilaian, terutama dari peserta yang belajar menilai sendiri, apa saja yang mereka alami dan bisa mereka bawa pulang dari kegiatan ini. Bila penilaian atau survei dialkukan di awal, saat peserta mendaftarkan diri untuk ikut kegiatan, bisa dipastikan tidak ada item yang bisa dijawab pada lembaran penilaian atau survei tersebut, karena belum ada pengetahuan lengkap mengenai semua komponen kegiatan untuk dievaluasi. Para peserta memerlukan waktu, perhatian dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan agar mampu menyelesaikan pengisian survei tersebut. Kondisi yang sama berlaku pada pelatihan yang saya bagikan dalam postingan kemarin. Sebuah survei dilakukan untuk menilai semua materi, pemateri, rangkaian dan kesan-pesan.

Mengikuti pelatihan seperti ini, yang saya anggap religius dan berkesan berat, selama ini tidak pernah saya ikuti tanpa ada kewajiban seperti pada saat jaman masih sekolah dulu. Pelatihan yang melibatkan hati dan pemikiran sekaligus seperti ini, melibatkan banyak orang yang saya yakin jauh lebih banyak pengalaman iman, untuk saya yang sifat dasarnya sangat introvert, selalu memicu ketakutan dan kekhawatiran dalam diri saya. Banyak "apabila", "jangan sampai", "mungkinkah" yang membuat saya overthinking dan maju mundur. Kali ini, ada hal yang berbeda. Informasi mengenai kegiatan ini saya peroleh dari flyer salah satu grup WA, dimana saya menjadi anggotanya karena harus menggantikan kakak terkasih yang sudah berpulang dua tahun lalu. Seperti biasa, saya selalu tidak pernah berminat berinteraksi dalam grup WA di mana saya dimasukkan menjadi anggota oleh orang lain. Menjadi stalker sejati dan memantau keramaian dalam grup adalah kebiasaan saya. Namun, hampir dua minggu lalu, flyer pengumuman ini masuk, saya membacanya, dan langsung memutuskan ikut, segera menghubungi panitia, mendaftarkan diri dan menyelesaikan segala urusan administrasi. Hanya ada kesan bahwa tema yang disajikan semoga bisa mencerminkan materi yang diharapkan dan bisa berguna untuk kegelisahan saya selama ini. Mendaftar hanya melihat tema, tanpa memikirkan siapa yang akan menyampaikan materi.

Seiring waktu, saya menjadi kepo, mulai browsing, dan menjadi penasaran setelah membaca profil singkat pemateri dan rangkaian keterlibatan beliau dalam beberapa acara. Saya memperoleh alasan pertama untuk mengikuti acara ini. Dan saya menemukan alasan berikutnya dengan segera, mengapa di bawah sadar saya menginginkan ikut pelatihan ini. Saya lahir dalam keluarga yang campuran dalam hal agama, kami semua seiman, tapi tidak selalu seamin, karena berbeda tempat dan waktu serta liturgi ibadah. Latar belakang keluarga papa dan mama yang berbeda gereja, membawa warisan keimanan seatap namun dengan dua pintu gerbang ke jalan besar yang sama. Kakak beradik menjadi berbagi jalan di tepi sungai air hidup yang sama di sisi berbeda, dan saya sempat merasakan kesepian dalam perjalanan iman sendiri. Terkadang timbul cemburu pada teman, kenalan dan keluarga lain yang selalu bersamaan pada salah satu sisi. Terkadang pula muncul kegelisahan untuk mengungkap apa yang menjadikan saya enggan berpindah dan selalu ingin bertahan pada sisi yang sudah saya pilih. Setelah ditinggalkan oleh kakak yang selalu mengajak gereja bersama, dan jauh dari adik yang sudah mulai memilih jalan hidupnya sendiri, saya menemukan alasan kuat.

Dalam keluarga yang beragam ini memang tidak selalu baik-baik saja, masalah dan tantangan tersedia setiap saat, tapi selalu ada kasih, cinta, perhatian dan pengharapan yang menyatukan. Dan yang selalu teringat sampai sekarang, adalah warisan akan teladan mama, sosok religius, pendoa dan pejuang paling kuat dalam keluarga, orang pertama yang akan bahagia saat anggota keluarganya berhasil dan senang, serta yang paling menderita saat keluarganya susah dan sakit. Sosok yang sangat bertekun dalam doa-doa pribadinya, gigih dan bersemangat dalam segala kunjungan, pelayanan dan apapun yang beliau lakukan dalam gereja, di tengah kesibukannya sebagai ibu dan guru. Pengenalan yang kuat itulah yang menyemangati saya mengikuti pelatihan ini, saya yakin beliau berani bertindak demikian selama hidupnya karena mengenal dan mengalami sentuhan tokoh yang beliau imani sampai akhir.

Survei, penilaian yang lengkap dan pengenalan akan tokoh penting yang mempengaruhi keputusan kita dalam hidup sebenarnya bagian dari renungan dalam Alkitab yang saya dalami kali ini, saat para murid Yesus menghadapi survei Yesus sejauh apa mereka mengenalNya dalam hidup. Survei yang sama yang juga selalu berhubungan dengan semua yang mengakui dirisebagai pengikutNya sampai sekarang. Apakah kita yang masih ada sekarang mengenal Dia, seperti apa, lantas apa konsekuensinya? Masih berani mengakuiNya terus dan menjadikanNya seperti pengakuan kita itu?

Marilah kita terus bertanya, merenungkan jawabannya, dan merealisasikan keputusan kita atas jawaban kita itu dalam hati kita, setiap hari. Yakinlah, untuk itulah kita diberi kesempatan hidup setiap hari.

Cerita ditulis sebagai tanggapan untuk renungan dari Markus 8:27-30

#Disclaimer : Ini refleksi, sepenuhnya hasil perenungan pribadi, bukan bermaksud mengajar, menggurui atau untuk diperdebatkan, semua pengertian, penerimaan atau penolakan harap ditanggung sendiri.

Selasa, 17 September 2024

Berbagi Supaya Terus Kebagian

Setelah lama vakum dan kehilangan selera untuk menulis, syukurlah hari ini saya kembali menemukan alasan untuk kembali menulis, atau lebih tepatnya, berbagi. Semoga yang membaca menerima, ini bukan sekedar laporan kegiatan, tapi curhat terselubung. Persis 10 hari yang lalu, saya membaca flyer tentang pelatihan pewarta yang diselenggarakan oleh kelompok kategorial Persekutuan Doa Karismatik Katolik dalam Dekenat Jayapura, Keuskupan Jayapura. Kegiatan pelatihan ini bertajuk besar "Pewarta Yang Memberkati", dan tajuk kecilnya "Sukacita Injil Memenuhi Hati dan Hidup Semua Orang". Saat mendaftar saya tidak berharap banyak bisa mengikutinya karena memiliki jadwal untuk pergi mengumpulkan data penelitian di luar kota Jayapura pada saat yang sama. Tapi akhirnya saya bisa mengikutinya dan membawa banyak pelajaran, kesan dan bekal tak ternilai harganya.

Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari di kompleks Rumah Retret Maranatha, Waena yang dikelola oleh Kongregasi Suster-suster Dina Santo Yoseph. Di depan peserta yang berasal dari 7 Paroki, dari Paroki Katedral Kristus Raja di ujung Teluk Humboldt sampai ke Paroki Kristus Sang Penebus Sentani di kaki Gunung Cyclops, dengan total peserta 60 orang didukung 10 orang panitia - bro and sist penuh semangat dari PDKK, Ibu Katarina Noviyanti Sugita memberikan materi-materi lengkap beserta praktek pewartaan. Metode dan gaya pelatihan yang penuh semangat dari Koordinator Sie Pewartaan BPN PKKI ini mampu membius, membangkitkan semangat, antusiasme dan segala bakat terpendam dari para peserta yang berasal dari beragam kelas usia dan latar belakang. Penjelasan-penjelasan lugas, alasan-alasan, makna-makna tersembunyi dari Sang Firman dan dari Kitab Suci beserta dukungan pilar gereja lainnya, dari Tradisi Suci dan Magisterium yang selama ini belum pernah menjadi perhatian saya, akhirnya menyentuh pemikiran saya.

Banyak bunyi klik di dalam kepala saya saat menemukan banyak potongan puzzle tanda tanya yang selama ini gentayangan dalam kegelisahan saya mulai mencari sambungannya.

Berbeda dengan acara pelatihan biasa yang memungkinkan peserta mendapat materi yang sudah berupa konsep tercetak, atau file slide yang bisa dibaca berkali-kali, pelatihan ini benar-benar melatih peserta untuk berkonsentrasi penuh untuk MENDENGAR dan MENULIS sendiri.

Perlahan saya mengerti, bahwa itu langkah dasar belajar mewartakan suatu pesan penting, bahwa si pembawa pesan mesti menggunakan indra pendengarannya sebaik-baiknya, memprosesnya dalam pemikiran dan hatinya, lalu menuliskannya dengan tepat, menjadi bahan yang dapat dimengerti oleh para penerima pesan. Pesan tertulis itu menjadi bukti bahwa meskipun nantinya akan disampaikan secara lisan, diri si pewarta lebih dahulu mengalami pesan itu bekerja dan mengubahkan seluruh hati dan pemikirannya dahulu sebelum, membuatnya menjadi saksi hidup, sebelum mengajak semua pihak yang mendengarkan pesan yang disampaikannya mengerti pesannya dan mengalaminya sendiri. Dan juga bukti, bahwa proses serumit itu memang bukan melulu kerja otak dan hati, tapi benar-benar digerakkan karena niat suci, Roh Kudus sendiri yang bekerja.

Banyak yang saya khawatirkan awalnya, bahwa apa yang diterima akan berakhir di dalam buku atau kertas catatan ternyata tidak beralasan. Karena pelatihan ini juga mengingatkan, pewartaan yang mengubah diri sendiri itu lebih dahulu terjadi, dan itu akan membawa pewartaan di luar diri sendiri berjalan dengan sendirinya ke depan.

Dalam bahasa resmi ibu pemateri, pelatihan ini memang bertujuan mengubahkan yang datang untuk menjadi pewarta awam lokal yang informatif dan aplikatif sehingga transformatif. Dan tujuan itu barulah bisa tercapai setelah peserta melalui banyak proses, memaksa menembus sekat-sekat pemikiran dan kecemasan diri sendiri, segala ketakutan untuk merasa tidak mampu, tidak pantas dan tidak berani berbagi apa yang ada. Saya melihat dalam pelatihan ini, semua dipaksa meninggalkan ke-aku-an diri sendiri yang serba kekurangan ini, untuk memberi kesempatan Roh Kudus sendiri mengasah kepekaan dan keberanian untuk mewartakan Kristus, Sang Firman Sejati, dengan cara-Nya.

Seluruh rangkaian acara ini bahkan diakhiri dengan Adorasi Sakramen Maha Kudus, dipimpin oleh pastor. Langkah pengutusan yang sangat menyentuh, memohon kekuatan Roh Kudus agar memiliki hati penuh doa dan syukur untuk menyembah dan mewartakan Tuhan yang sejati dalam pribadi Yesus Kristus yang benar-benar hadir dalam Hosti.

Hal-hal yang tidak saya pahami awalnya saat mulai mendaftar sampai pada acara selesai akhirnya bisa tersingkap. Semua yang datang mungkin awalnya merasa tidak punya apa-apa untuk dibagikan, tetapi setelah disadarkan kembali semua sesungguhnya sudah diutus, pasti diperlengkapi dan diberikan dengan berlimpah-limpah, tidak mungkin ditanggung sendiri, harus selalu dibagikan. Seperti sebuah bejana yang fungsinya menampung air bersih, pasti harus sering dialirkan untuk menyuburkan tanah atau dipakai untuk menyegarkan orang yang meminumnya, lalu mendapat kesempatan baru untuk diisi kembali, pasti akan membuatnya lebih berguna daripada hanya dibiarkan mengendap dan berlumut. Terus berbagi, agar bisa selalu ada kesempatan kebagian lagi….