Jumat, 27 September 2024

Dalam Selembar Foto

Sampai hari ini, sudah hampir dua minggu saya merasa tidak bisa cukup tidur pada malam hari. Bukan hanya karena selalu terbangun pas jadwal jaga air PDAM, tiga kali seminggu yang seringnya lewat tengah malam dan bikin susah tidur kembali, tapi sepertinya saya kena gangguan tidur. Hal yang paling saya khawatirkan selama ini, karena bagi saya, tidur cukup adalah obat pertama dan terbaik untuk setiap masalah saya. Saat kepala berat berpikir, atau badan greges; panas-dingin tidak nyaman tanpa tahu penyebab, atau saat migren dan badan pegal-pegal; yang makin sering terasa sejak beres operasi, saya pasti memilih tidur lebih dahulu sebelum mencari obat. Tapi sekarang semua itu makin sulit. Saya hanya bisa berupaya menanggungnya dengan menambah tidur di pagi atau siang saat lelah sekali, banyak minum air putih dan stretching, atau banyak jalan santai di sekeliling rumah emak yang besar ini.

Efek lain yang tidak bisa dielakkan akibat kurang tidur adalah menjalani hari dengan perasaan melayang dan kadang-kadang merasa sedikit halu. Perjuangan untuk mencapai konsentrasi akhirnya menjadi santapan harian rutin. Kadang saya membuat selingan, agar bisa mengalihkan fokus dan menyegarkan badan dan isi kepala. Dan anehnya, keinginan untuk mengerjakan selingan ini, selalu muncul begitu saja, tanpa rencana. Setiap kali, saya berupaya tidak menolak menghindarinya sesuai pesan pastor pembimbing rohani saya, Latih Kepekaan dan Rendah Hati, bersiap menerima dengan iklas dan sukacita atas apa yang akan muncul setiap saat.

Pagi ini saya mendapat dorongan untuk latihan vokal sendiri, menyanyikan lagu Pada WaktuNya (Henry Sutjipto) keras-keras di dalam rumah. Berulang-ulang sampai lelah sendiri. Lagu ini saya pilih karena kebetulan bacaan liturgi hari ini pas temanya sekaligus perikop favorit saya. Saya melanjutkannya dengan membongkar koleksi buku-buku tebal berdebu dalam karton di gudang menjahit emak. Saya menemukan beberapa buku yang, waaah, memang selama ini saya cari, dan saya bahkan tidak ingat ada dalam koleksi beliau. Di atas meja, sambil bersiap sarapan, saya membersihkan buku-buku itu dan membukanya satu-persatu, menemukan banyak sekali harta karun. Saya baru ingat lagi, kalau keluarga besar saya punya hobi berat membaca, semua punya genre berbeda, dan selalu bikin rumah susah rapi karena banyak buku-buku yang terletak di mana-mana, meski sekarang sebagian besar sudah di dalam kardus-kardus di gudang.

Harta karun paling indah yang saya temukan adalah begitu banyak foto keluarga dan kerabat serta kartu-kartu ucapan hari raya yang dijadikan pembatas buku. Begitu banyak kenangan yang disimpan rapi di antara lembar-lembar sarat gagasan di buku-buku tua koleksi emak saya itu. Dan ada satu lembar foto yang menghentikan semua kesibukan saya, membuat air mata saya langsung jatuh

Ini adalah foto kenangan saat saya masih kuliah, awal tahun 1996, semester 2, diambil di Taman Koleksi Kampus IPB Baranangsiang, masa damai sebelum jadi pusat perbelanjaan besar sekali di jantung kota Bogor. Wajah-wajah teman-teman yang baru belajar dan berjuang bersama hampir setahun. Segar sekali. Dan saya menemukan foto ini hari ini, dengan mata berkaca mengenang salah satu yang telah lebih dulu pulang dalam pelukanNya karena lupus, seorang lagi sedang berjuang bertahan hidup karena kanker stadium lanjut, seorang lagi sedang bertahan dengan terapi mingguan supaya bisa stabil kondisinya, seorang lagi benar-benar hilang kontak, dan saya sendiri dengan pergumulan hidup saya. Waktu telah memelihara dan memaksa kami melangkah begini jauh

Selembar foto, menimbulkan segala rasa, saling bertolak belakang, tentang rumitnya hidup masing-masing, banyak sekali kenangan, kerinduan, rasa bersalah, dan harapan ikut muncul. Foto ini, bercerita dan mempertanyakan dalam diam, tentang penyelenggaraan Tuhan, tentang relasi dengan orang lain dan dukungan lingkungan sekitar, juga tentang seluk-beluk kehidupan semua obyek di dalamnya. Bagaimana jalan kami berbeda-beda setelah terpisah dan masih terus berjuang untuk mencapai tujuan akhir yang sama nanti, entah kapan. Mengharukan, karena saya ikut memperkirakan pembatas buku berupa foto adalah bentuk kesediaan seorang almh emak mendoakan anaknya setiap kali beliau temukan ketika buku-buku tua ini beliau buka dan baca.

Satu hal yang pasti, bukan hanya sedih dan terharu, tetapi rindu juga akan selalu ada hanya karena foto selembar ini.

Refleksi hari ini, setelah berjumpa, membersamai dan mengingat banyak orang dan rasa melalui selembar foto. (Pengkhotbah 3:1-11 & Lukas 9: 18-22)

Yang ada di dalam foto (ki-ka): saya, Ellyn Katalina Damayanti (semoga bisa bertemu), almh Tiur Helen Rosmawati Aritonang (Wete, damai di surga e sist), Doris Marsintauli Pardede (peluk paling hangat, erat dan penuh sayang untuk dirimu, pejuang tangguh), dan Wulandari Dwi Utari (salam sayang juga untukmu, jangan menyerah ya Lil), Semoga Tuhan menjaga kita semua. Amin.

Rabu, 18 September 2024

Survei Tokoh

Dari sekian banyak hasil pencerahan sejak pertama kali membuat blog ini, kali ini saya ingin memulai suatu perjalanan baru yang selalu saya impikan sejak lama. Perjalanan yang berawal dari titik nol, untuk terus menjadi kosong, supaya selalu ada kesempatan untuk terisi sejenak, bernafas dan bergolak hidup, lantas mengalir untuk mengosongkan diri lagi, untuk bersiap mengalami terisi kembali. Berangkat dari, selalu berada, terus berjalan dan bersemangat menuju titik nol. Mungkin tidak banyak yang berminat membaca, tidak apa, karena keinginan saya hanyalah berbagi, dan saya sangat memahami, apa yang dibagi tidak selalu menjadi bagian yang diharapkan. Saya ingin memberikan ruang untuk kerinduan, kegelisahan sekaligus kelegaan karena penerangan dalam kekusutan di dalam kepala di laman-laman postingan ini, berdasarkan pengalaman batin dan iman saya. Dan kali ini, saya memulainya dengan naskah yang menarik minat saya saat pelatihan sebelumnya. Bisa dibaca di postingan sebelum ini. Bukan renungan lengkap, tapi hanya ilustrasi yang meminta kita masing-masing mengambil kesimpulan sendiri untuk hidup kita.

Setiap orang yang pernah menjadi peserta suatu kegiatan, dengan materi yang banyak dan beragam, pemateri yang punya gaya menyajikan yang unik, didukung dengan segala jadwal kegiatan yang padat dan difasilitasi dengan panitia yang berdedikasi pasti membutuhkan evaluasi pada akhirnya. Bukan tanpa maksud, tapi sebagai dasar untuk perbaikan dan pengembangan di kesempatan berikut, karena, pastilah, setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang, kerja keras dan dana memerlukan penghargaan dan pencapaian tujuan. Evaluasi ini muncul dalam bentuk penilaian, terutama dari peserta yang belajar menilai sendiri, apa saja yang mereka alami dan bisa mereka bawa pulang dari kegiatan ini. Bila penilaian atau survei dialkukan di awal, saat peserta mendaftarkan diri untuk ikut kegiatan, bisa dipastikan tidak ada item yang bisa dijawab pada lembaran penilaian atau survei tersebut, karena belum ada pengetahuan lengkap mengenai semua komponen kegiatan untuk dievaluasi. Para peserta memerlukan waktu, perhatian dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan agar mampu menyelesaikan pengisian survei tersebut. Kondisi yang sama berlaku pada pelatihan yang saya bagikan dalam postingan kemarin. Sebuah survei dilakukan untuk menilai semua materi, pemateri, rangkaian dan kesan-pesan.

Mengikuti pelatihan seperti ini, yang saya anggap religius dan berkesan berat, selama ini tidak pernah saya ikuti tanpa ada kewajiban seperti pada saat jaman masih sekolah dulu. Pelatihan yang melibatkan hati dan pemikiran sekaligus seperti ini, melibatkan banyak orang yang saya yakin jauh lebih banyak pengalaman iman, untuk saya yang sifat dasarnya sangat introvert, selalu memicu ketakutan dan kekhawatiran dalam diri saya. Banyak "apabila", "jangan sampai", "mungkinkah" yang membuat saya overthinking dan maju mundur. Kali ini, ada hal yang berbeda. Informasi mengenai kegiatan ini saya peroleh dari flyer salah satu grup WA, dimana saya menjadi anggotanya karena harus menggantikan kakak terkasih yang sudah berpulang dua tahun lalu. Seperti biasa, saya selalu tidak pernah berminat berinteraksi dalam grup WA di mana saya dimasukkan menjadi anggota oleh orang lain. Menjadi stalker sejati dan memantau keramaian dalam grup adalah kebiasaan saya. Namun, hampir dua minggu lalu, flyer pengumuman ini masuk, saya membacanya, dan langsung memutuskan ikut, segera menghubungi panitia, mendaftarkan diri dan menyelesaikan segala urusan administrasi. Hanya ada kesan bahwa tema yang disajikan semoga bisa mencerminkan materi yang diharapkan dan bisa berguna untuk kegelisahan saya selama ini. Mendaftar hanya melihat tema, tanpa memikirkan siapa yang akan menyampaikan materi.

Seiring waktu, saya menjadi kepo, mulai browsing, dan menjadi penasaran setelah membaca profil singkat pemateri dan rangkaian keterlibatan beliau dalam beberapa acara. Saya memperoleh alasan pertama untuk mengikuti acara ini. Dan saya menemukan alasan berikutnya dengan segera, mengapa di bawah sadar saya menginginkan ikut pelatihan ini. Saya lahir dalam keluarga yang campuran dalam hal agama, kami semua seiman, tapi tidak selalu seamin, karena berbeda tempat dan waktu serta liturgi ibadah. Latar belakang keluarga papa dan mama yang berbeda gereja, membawa warisan keimanan seatap namun dengan dua pintu gerbang ke jalan besar yang sama. Kakak beradik menjadi berbagi jalan di tepi sungai air hidup yang sama di sisi berbeda, dan saya sempat merasakan kesepian dalam perjalanan iman sendiri. Terkadang timbul cemburu pada teman, kenalan dan keluarga lain yang selalu bersamaan pada salah satu sisi. Terkadang pula muncul kegelisahan untuk mengungkap apa yang menjadikan saya enggan berpindah dan selalu ingin bertahan pada sisi yang sudah saya pilih. Setelah ditinggalkan oleh kakak yang selalu mengajak gereja bersama, dan jauh dari adik yang sudah mulai memilih jalan hidupnya sendiri, saya menemukan alasan kuat.

Dalam keluarga yang beragam ini memang tidak selalu baik-baik saja, masalah dan tantangan tersedia setiap saat, tapi selalu ada kasih, cinta, perhatian dan pengharapan yang menyatukan. Dan yang selalu teringat sampai sekarang, adalah warisan akan teladan mama, sosok religius, pendoa dan pejuang paling kuat dalam keluarga, orang pertama yang akan bahagia saat anggota keluarganya berhasil dan senang, serta yang paling menderita saat keluarganya susah dan sakit. Sosok yang sangat bertekun dalam doa-doa pribadinya, gigih dan bersemangat dalam segala kunjungan, pelayanan dan apapun yang beliau lakukan dalam gereja, di tengah kesibukannya sebagai ibu dan guru. Pengenalan yang kuat itulah yang menyemangati saya mengikuti pelatihan ini, saya yakin beliau berani bertindak demikian selama hidupnya karena mengenal dan mengalami sentuhan tokoh yang beliau imani sampai akhir.

Survei, penilaian yang lengkap dan pengenalan akan tokoh penting yang mempengaruhi keputusan kita dalam hidup sebenarnya bagian dari renungan dalam Alkitab yang saya dalami kali ini, saat para murid Yesus menghadapi survei Yesus sejauh apa mereka mengenalNya dalam hidup. Survei yang sama yang juga selalu berhubungan dengan semua yang mengakui dirisebagai pengikutNya sampai sekarang. Apakah kita yang masih ada sekarang mengenal Dia, seperti apa, lantas apa konsekuensinya? Masih berani mengakuiNya terus dan menjadikanNya seperti pengakuan kita itu?

Marilah kita terus bertanya, merenungkan jawabannya, dan merealisasikan keputusan kita atas jawaban kita itu dalam hati kita, setiap hari. Yakinlah, untuk itulah kita diberi kesempatan hidup setiap hari.

Cerita ditulis sebagai tanggapan untuk renungan dari Markus 8:27-30

#Disclaimer : Ini refleksi, sepenuhnya hasil perenungan pribadi, bukan bermaksud mengajar, menggurui atau untuk diperdebatkan, semua pengertian, penerimaan atau penolakan harap ditanggung sendiri.

Selasa, 17 September 2024

Berbagi Supaya Terus Kebagian

Setelah lama vakum dan kehilangan selera untuk menulis, syukurlah hari ini saya kembali menemukan alasan untuk kembali menulis, atau lebih tepatnya, berbagi. Semoga yang membaca menerima, ini bukan sekedar laporan kegiatan, tapi curhat terselubung. Persis 10 hari yang lalu, saya membaca flyer tentang pelatihan pewarta yang diselenggarakan oleh kelompok kategorial Persekutuan Doa Karismatik Katolik dalam Dekenat Jayapura, Keuskupan Jayapura. Kegiatan pelatihan ini bertajuk besar "Pewarta Yang Memberkati", dan tajuk kecilnya "Sukacita Injil Memenuhi Hati dan Hidup Semua Orang". Saat mendaftar saya tidak berharap banyak bisa mengikutinya karena memiliki jadwal untuk pergi mengumpulkan data penelitian di luar kota Jayapura pada saat yang sama. Tapi akhirnya saya bisa mengikutinya dan membawa banyak pelajaran, kesan dan bekal tak ternilai harganya.

Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari di kompleks Rumah Retret Maranatha, Waena yang dikelola oleh Kongregasi Suster-suster Dina Santo Yoseph. Di depan peserta yang berasal dari 7 Paroki, dari Paroki Katedral Kristus Raja di ujung Teluk Humboldt sampai ke Paroki Kristus Sang Penebus Sentani di kaki Gunung Cyclops, dengan total peserta 60 orang didukung 10 orang panitia - bro and sist penuh semangat dari PDKK, Ibu Katarina Noviyanti Sugita memberikan materi-materi lengkap beserta praktek pewartaan. Metode dan gaya pelatihan yang penuh semangat dari Koordinator Sie Pewartaan BPN PKKI ini mampu membius, membangkitkan semangat, antusiasme dan segala bakat terpendam dari para peserta yang berasal dari beragam kelas usia dan latar belakang. Penjelasan-penjelasan lugas, alasan-alasan, makna-makna tersembunyi dari Sang Firman dan dari Kitab Suci beserta dukungan pilar gereja lainnya, dari Tradisi Suci dan Magisterium yang selama ini belum pernah menjadi perhatian saya, akhirnya menyentuh pemikiran saya.

Banyak bunyi klik di dalam kepala saya saat menemukan banyak potongan puzzle tanda tanya yang selama ini gentayangan dalam kegelisahan saya mulai mencari sambungannya.

Berbeda dengan acara pelatihan biasa yang memungkinkan peserta mendapat materi yang sudah berupa konsep tercetak, atau file slide yang bisa dibaca berkali-kali, pelatihan ini benar-benar melatih peserta untuk berkonsentrasi penuh untuk MENDENGAR dan MENULIS sendiri.

Perlahan saya mengerti, bahwa itu langkah dasar belajar mewartakan suatu pesan penting, bahwa si pembawa pesan mesti menggunakan indra pendengarannya sebaik-baiknya, memprosesnya dalam pemikiran dan hatinya, lalu menuliskannya dengan tepat, menjadi bahan yang dapat dimengerti oleh para penerima pesan. Pesan tertulis itu menjadi bukti bahwa meskipun nantinya akan disampaikan secara lisan, diri si pewarta lebih dahulu mengalami pesan itu bekerja dan mengubahkan seluruh hati dan pemikirannya dahulu sebelum, membuatnya menjadi saksi hidup, sebelum mengajak semua pihak yang mendengarkan pesan yang disampaikannya mengerti pesannya dan mengalaminya sendiri. Dan juga bukti, bahwa proses serumit itu memang bukan melulu kerja otak dan hati, tapi benar-benar digerakkan karena niat suci, Roh Kudus sendiri yang bekerja.

Banyak yang saya khawatirkan awalnya, bahwa apa yang diterima akan berakhir di dalam buku atau kertas catatan ternyata tidak beralasan. Karena pelatihan ini juga mengingatkan, pewartaan yang mengubah diri sendiri itu lebih dahulu terjadi, dan itu akan membawa pewartaan di luar diri sendiri berjalan dengan sendirinya ke depan.

Dalam bahasa resmi ibu pemateri, pelatihan ini memang bertujuan mengubahkan yang datang untuk menjadi pewarta awam lokal yang informatif dan aplikatif sehingga transformatif. Dan tujuan itu barulah bisa tercapai setelah peserta melalui banyak proses, memaksa menembus sekat-sekat pemikiran dan kecemasan diri sendiri, segala ketakutan untuk merasa tidak mampu, tidak pantas dan tidak berani berbagi apa yang ada. Saya melihat dalam pelatihan ini, semua dipaksa meninggalkan ke-aku-an diri sendiri yang serba kekurangan ini, untuk memberi kesempatan Roh Kudus sendiri mengasah kepekaan dan keberanian untuk mewartakan Kristus, Sang Firman Sejati, dengan cara-Nya.

Seluruh rangkaian acara ini bahkan diakhiri dengan Adorasi Sakramen Maha Kudus, dipimpin oleh pastor. Langkah pengutusan yang sangat menyentuh, memohon kekuatan Roh Kudus agar memiliki hati penuh doa dan syukur untuk menyembah dan mewartakan Tuhan yang sejati dalam pribadi Yesus Kristus yang benar-benar hadir dalam Hosti.

Hal-hal yang tidak saya pahami awalnya saat mulai mendaftar sampai pada acara selesai akhirnya bisa tersingkap. Semua yang datang mungkin awalnya merasa tidak punya apa-apa untuk dibagikan, tetapi setelah disadarkan kembali semua sesungguhnya sudah diutus, pasti diperlengkapi dan diberikan dengan berlimpah-limpah, tidak mungkin ditanggung sendiri, harus selalu dibagikan. Seperti sebuah bejana yang fungsinya menampung air bersih, pasti harus sering dialirkan untuk menyuburkan tanah atau dipakai untuk menyegarkan orang yang meminumnya, lalu mendapat kesempatan baru untuk diisi kembali, pasti akan membuatnya lebih berguna daripada hanya dibiarkan mengendap dan berlumut. Terus berbagi, agar bisa selalu ada kesempatan kebagian lagi….