Efek lain yang tidak bisa dielakkan akibat kurang tidur adalah menjalani hari dengan perasaan melayang dan kadang-kadang merasa sedikit halu. Perjuangan untuk mencapai konsentrasi akhirnya menjadi santapan harian rutin. Kadang saya membuat selingan, agar bisa mengalihkan fokus dan menyegarkan badan dan isi kepala. Dan anehnya, keinginan untuk mengerjakan selingan ini, selalu muncul begitu saja, tanpa rencana. Setiap kali, saya berupaya tidak menolak menghindarinya sesuai pesan pastor pembimbing rohani saya, Latih Kepekaan dan Rendah Hati, bersiap menerima dengan iklas dan sukacita atas apa yang akan muncul setiap saat.
Pagi ini saya mendapat dorongan untuk latihan vokal sendiri, menyanyikan lagu Pada WaktuNya (Henry Sutjipto) keras-keras di dalam rumah. Berulang-ulang sampai lelah sendiri. Lagu ini saya pilih karena kebetulan bacaan liturgi hari ini pas temanya sekaligus perikop favorit saya. Saya melanjutkannya dengan membongkar koleksi buku-buku tebal berdebu dalam karton di gudang menjahit emak. Saya menemukan beberapa buku yang, waaah, memang selama ini saya cari, dan saya bahkan tidak ingat ada dalam koleksi beliau. Di atas meja, sambil bersiap sarapan, saya membersihkan buku-buku itu dan membukanya satu-persatu, menemukan banyak sekali harta karun. Saya baru ingat lagi, kalau keluarga besar saya punya hobi berat membaca, semua punya genre berbeda, dan selalu bikin rumah susah rapi karena banyak buku-buku yang terletak di mana-mana, meski sekarang sebagian besar sudah di dalam kardus-kardus di gudang.
Harta karun paling indah yang saya temukan adalah begitu banyak foto keluarga dan kerabat serta kartu-kartu ucapan hari raya yang dijadikan pembatas buku. Begitu banyak kenangan yang disimpan rapi di antara lembar-lembar sarat gagasan di buku-buku tua koleksi emak saya itu. Dan ada satu lembar foto yang menghentikan semua kesibukan saya, membuat air mata saya langsung jatuh
Ini adalah foto kenangan saat saya masih kuliah, awal tahun 1996, semester 2, diambil di Taman Koleksi Kampus IPB Baranangsiang, masa damai sebelum jadi pusat perbelanjaan besar sekali di jantung kota Bogor. Wajah-wajah teman-teman yang baru belajar dan berjuang bersama hampir setahun. Segar sekali. Dan saya menemukan foto ini hari ini, dengan mata berkaca mengenang salah satu yang telah lebih dulu pulang dalam pelukanNya karena lupus, seorang lagi sedang berjuang bertahan hidup karena kanker stadium lanjut, seorang lagi sedang bertahan dengan terapi mingguan supaya bisa stabil kondisinya, seorang lagi benar-benar hilang kontak, dan saya sendiri dengan pergumulan hidup saya. Waktu telah memelihara dan memaksa kami melangkah begini jauh
Selembar foto, menimbulkan segala rasa, saling bertolak belakang, tentang rumitnya hidup masing-masing, banyak sekali kenangan, kerinduan, rasa bersalah, dan harapan ikut muncul. Foto ini, bercerita dan mempertanyakan dalam diam, tentang penyelenggaraan Tuhan, tentang relasi dengan orang lain dan dukungan lingkungan sekitar, juga tentang seluk-beluk kehidupan semua obyek di dalamnya. Bagaimana jalan kami berbeda-beda setelah terpisah dan masih terus berjuang untuk mencapai tujuan akhir yang sama nanti, entah kapan. Mengharukan, karena saya ikut memperkirakan pembatas buku berupa foto adalah bentuk kesediaan seorang almh emak mendoakan anaknya setiap kali beliau temukan ketika buku-buku tua ini beliau buka dan baca.
Satu hal yang pasti, bukan hanya sedih dan terharu, tetapi rindu juga akan selalu ada hanya karena foto selembar ini.
Refleksi hari ini, setelah berjumpa, membersamai dan mengingat banyak orang dan rasa melalui selembar foto. (Pengkhotbah 3:1-11 & Lukas 9: 18-22)
Yang ada di dalam foto (ki-ka): saya, Ellyn Katalina Damayanti (semoga bisa bertemu), almh Tiur Helen Rosmawati Aritonang (Wete, damai di surga e sist), Doris Marsintauli Pardede (peluk paling hangat, erat dan penuh sayang untuk dirimu, pejuang tangguh), dan Wulandari Dwi Utari (salam sayang juga untukmu, jangan menyerah ya Lil), Semoga Tuhan menjaga kita semua. Amin.