Ini notes paling cocok untuk hari ini, bener-bener kena banget,
sengaja disalin di sini, supaya bisa terus ngingetin,
kalau segala hal berbau paranoid mulai muncul dan menganggu kadar kewarasan.
Merasa kesepian, seharusnya itu tidak boleh kejadian.
Saat engkau kesepian karena banyak teman yang tidak menyapamu, bahkan meninggalkanmu di saat engkau membutuhkan kehadiran seorang sahabat, itulah saatnya engkau mengubah kesepian menjadi kehangatan. Kehangatan yang sejati bukan berasal dari orang lain yang menemanimu, bukan pula dari orang yang begitu memahami persoalanmu.
Kehangatan sejati itu berasal dari Allah yang pertama kali telah merengkuhmu saat engkau mengalami kesepian.
Kesepianmu bukanlah akhir segala-galanya, dan bukanlah kenyataan hidup satu-satunya yang terjadi pada dirimu. Hidupmu bukanlah kesepian. Kesepian itu hanya salah satu duri, yang membuatmu berpikir, merenung, namun juga memberi kesempatan dirimu terluka. "Pengalaman terluka" itu dibutuhkan agar engkau tumbuh berbuahkan kasih. Tanah yang subur bukanlah tanah yang kuat, bagaikan batu, tapi tanah yang rentan, mudah diambil dan digenggam, mudah dicangkul, dicampur dengan pupuk, dan mudah menyerap air.
Kesepianmu saat ini ibarat tanah subur yang siap dicangkul dan disiram air segar. Kesepian itu membuat hidupmu terluka, namun "luka" itu tidak lain sebuah "ruang", meski sempit sekali, tapi ruang itu dapat engkau persembahkan kepada Allah. "Allah, aku punya "ruang" untuk-Mu, agar engkau tinggal. Kesepianku telah engkau biarkan hadir, agar terciptalah "ruang bagi-Mu" di dalam hati ini. Tinggallah dalam "ruang hatiku", agar aku mengalami kehangatan kasih-Mu. Engkau yang hangat, selalu menyapaku setiap hari."
Semoga kita mau belajar mengubah kesepian menjadi kehangatan dengan saling mendahului untuk menyapa sahabat-sahabat, saudara serumah, pasangan hidup, dan anak-anak!
Dikutip dari :
Kesepian itu menciptakan "ruang" untuk kehangatan
Rm. Blasius Slamet Lasmunadi, Pr.
Untuk hari ini,
karena seluruh hari lalu sudah boleh ada dalam pelukanNya,
dan seluruh hari ke depan,
tak pernah habis bermohon,
akan selalu ada dalam genggamanNya
Amin.
Kamis, 11 Februari 2010
Sabtu, 06 Februari 2010
Melihat
Hampir selalu, kita berada di tengah situasi dan lingkungan yang jauh dari yang kita harapkan, bertemu dengan orang-orang yang kerapkali berseberangan, bekerja dengan orang-orang yang keras dan seenaknya sendiri, berbagi dan melayani dengan orang yang suka menyinggung, tapi mudah tersinggung, bahkan berusaha bertahan untuk orang-orang yang seperti tidak sadar kita ada untuk mereka.
Waktu, tenaga, dan pikiran kita terkuras hanya untuk meladeni orang-orang “sulit”, meski lebih tepatnya, “ajaib” ini. Kondisi ini mampu membuat kita frustasi, dan seringkali menyebabkan kita akhirnya memutuskan untuk hidup mendatar saja, atau menurun saja, persis seperti usaha menjawab teka-teki silang, yang njelimet, tanpa celah untuk mencang-menceng miring ke kanan atau ke kiri, sebelum akhirnya mentok dan sibuk bertanya ke mana-mana.
Namun, di saat Yang Maha Kuasa mengizinkan mahluk yang berstatus “orang-orang” hadir dalam hidup kita, maka pasti sudah ada tujuan yang disiapkan untuk itu. Begitu pula keberadaan orang-orang “ajaib” di dalam perjalanan hidup kita. Dari mereka, setidaknya kita dapat belajar tentang KESABARAN, KERENDAHAN HATI, dan PENGUASAAN DIRI. Pada saat yang sama, kita bisa sekaligus bercermin, betapa menyakitkannya kita bagi orang lain bila menjadi orang seperti itu.
KITA diingatkan untuk tidak menjadi orang yang “ajaib” bagi orang lain. Sesekali, dengan berhadapan dan hidup bersama mereka, kita pun menjadi lebih obyektif dalam memandang mereka; bisa jadi ada banyak hal yang membuat mereka menjadi “ajaib”, bagi diri mereka sendiri, sampai perlu bersikap “ajaib” bagi orang lain.
Melenyapkan segala kemarahan, sakit hati dan kekesalan saat berhubungan dengan "keajaiban" mereka mungkin sukar dilakukan, tapi mulai menyertakan harapan, simpati dan empati bukan pula sesuatu yang mustahil.
Menjalani hidup, dengan pantulan berbeda, mungkin bisa sama menariknya dengan efek dadu pada mainan ular tangga, naik-turun, bertemu banyak penghalang dan juga penolong, melesat kesana kemari, sampai akhirnya tamat sebagai pemenang.
Belajar melihat dengan mata yang lain,
makin lengkap? mudah-mudahan,
atau justru semakin banyak yang lenyap....
Waktu, tenaga, dan pikiran kita terkuras hanya untuk meladeni orang-orang “sulit”, meski lebih tepatnya, “ajaib” ini. Kondisi ini mampu membuat kita frustasi, dan seringkali menyebabkan kita akhirnya memutuskan untuk hidup mendatar saja, atau menurun saja, persis seperti usaha menjawab teka-teki silang, yang njelimet, tanpa celah untuk mencang-menceng miring ke kanan atau ke kiri, sebelum akhirnya mentok dan sibuk bertanya ke mana-mana.
Namun, di saat Yang Maha Kuasa mengizinkan mahluk yang berstatus “orang-orang” hadir dalam hidup kita, maka pasti sudah ada tujuan yang disiapkan untuk itu. Begitu pula keberadaan orang-orang “ajaib” di dalam perjalanan hidup kita. Dari mereka, setidaknya kita dapat belajar tentang KESABARAN, KERENDAHAN HATI, dan PENGUASAAN DIRI. Pada saat yang sama, kita bisa sekaligus bercermin, betapa menyakitkannya kita bagi orang lain bila menjadi orang seperti itu.
KITA diingatkan untuk tidak menjadi orang yang “ajaib” bagi orang lain. Sesekali, dengan berhadapan dan hidup bersama mereka, kita pun menjadi lebih obyektif dalam memandang mereka; bisa jadi ada banyak hal yang membuat mereka menjadi “ajaib”, bagi diri mereka sendiri, sampai perlu bersikap “ajaib” bagi orang lain.
Melenyapkan segala kemarahan, sakit hati dan kekesalan saat berhubungan dengan "keajaiban" mereka mungkin sukar dilakukan, tapi mulai menyertakan harapan, simpati dan empati bukan pula sesuatu yang mustahil.
Menjalani hidup, dengan pantulan berbeda, mungkin bisa sama menariknya dengan efek dadu pada mainan ular tangga, naik-turun, bertemu banyak penghalang dan juga penolong, melesat kesana kemari, sampai akhirnya tamat sebagai pemenang.
Belajar melihat dengan mata yang lain,
makin lengkap? mudah-mudahan,
atau justru semakin banyak yang lenyap....
Senin, 01 Februari 2010
Giving up
Hari ini di tengah kegalauan,
Sesuatu menegurku,
percikan butiran bergaram di wajahku
membawa perih di kedua mataku....
Hari-hari hidup yang dilalui,
Mungkin mirip bentangan samudera,
Yang meneduh dalam dan kebiruan,
meski ujung-ujungnya berakhir pecah memutih
Yang bisa mengkaramkan kapal,
namun mampu menghantarkan biduk
Yang mungkin menyimpan badai,
tetapi selalu dapat menyurutkan airnya
Yang pasti menerima semua;
terik mentari, senyum rembulan,
sentuhan fajar dan senja, lengkung pelangi,
terpaan angin, pantulan langit,
gerimis, hujan, butiran air sungai,
bahkan juga sang embun.
Kasih yang tulus,
Yang memberi bukan untuk menerima balasan,
Yang menghargai penantian dengan penuh syukur,
Yang berbagi sampai sakit pun tak lagi berasa,
Sama seperti tarian abadi sang samudera,
yang tak pernah lelah beriak, berombak,
bergelombang, berbuih,
mengering lalu pasang
sejak awal dahulu, dan terus sampai akhir nanti.
Hati
juga seperti samudera,
sejauh apapun bergelora
tetap kan pulang ke pesisir sang pantai.
Sungguh, kujadi ingin seperti samudera,
meski mustahil merenangi luasnya,
mungkin cukup menghanyutkan diri bersamanya....
Thank you for drowning me.
(1 Corinthians 13:7).
pict. ocean eyes-yourstrulypoetry.com
Sesuatu menegurku,
percikan butiran bergaram di wajahku
membawa perih di kedua mataku....
Hari-hari hidup yang dilalui,
Mungkin mirip bentangan samudera,
Yang meneduh dalam dan kebiruan,
meski ujung-ujungnya berakhir pecah memutih
Yang bisa mengkaramkan kapal,
namun mampu menghantarkan biduk
Yang mungkin menyimpan badai,
tetapi selalu dapat menyurutkan airnya
Yang pasti menerima semua;
terik mentari, senyum rembulan,
sentuhan fajar dan senja, lengkung pelangi,
terpaan angin, pantulan langit,
gerimis, hujan, butiran air sungai,
bahkan juga sang embun.
Kasih yang tulus,
Yang memberi bukan untuk menerima balasan,
Yang menghargai penantian dengan penuh syukur,
Yang berbagi sampai sakit pun tak lagi berasa,
Sama seperti tarian abadi sang samudera,
yang tak pernah lelah beriak, berombak,
bergelombang, berbuih,
mengering lalu pasang
sejak awal dahulu, dan terus sampai akhir nanti.
Hati
juga seperti samudera,
sejauh apapun bergelora
tetap kan pulang ke pesisir sang pantai.
Sungguh, kujadi ingin seperti samudera,
meski mustahil merenangi luasnya,
mungkin cukup menghanyutkan diri bersamanya....
Thank you for drowning me.
(1 Corinthians 13:7).
pict. ocean eyes-yourstrulypoetry.com
Langganan:
Postingan (Atom)