Jumat, 13 November 2009

W a j a r

Setiap bentuk kehidupan di alam ini bisa bertahan karena berhasil hidup dan menanggapi lingkungannya dengan penuh kesadaran. Pemikiran ini timbul bukan karena sekarang lagi sibuk berkutat dengan segala teori ekologi untuk satu ujian yang tersisa, tapi muncul justru karena ada sesuatu yang memaksa untuk tetap sadar, yang meminta untuk dituangkan.

Alam pikiran, untuk saya, adalah satu bentuk kehidupan, memperoleh begitu banyak nyawa dari dunia nyata, yang dilihat, dicerna dan diterjemahkan kembali, disimpan dalam memori dan sebagian dikeluarkan ke mana-mana. Segala hal yang melintas dalam benak sama seperti mahluk hidup; tumbuh, berkembang, berinteraksi, beranak-pinak, sampai akhirnya berakhir pada titik kesimpulan, ended, final. Suatu proses ajaib dan rumit, yang menjadi wajar sekali dalam keseharian kita.

Seperti di awal pagi ini, saya merasa terpesona saat menemukan bahwa saya sudah berhasil hidup dalam salah satu kewajaran setelah melihat tanggalan yang tertempel di dinding kamar berbata merah. Ada cerita masa kecil saya yang membuat nilai kewajaran ini makin menguat. Saat masih kanak-kanak, saya selalu merasa ketakutan saat gelap. Suasana gelap yang bisa saya tolerir hanyalah sejauh suasana kamar yang gelap dan masih mendapat sedikit penerangan dari luar saat akan tidur setiap malam.
Keadaan rumah gelap karena lampu padam kena giliran dari PLN dan membuat suasana jadi penuh cahaya lilin pun tidak merubah kadar ketakutan saya. Rasanya ada terlalu banyak bayangan ikut menari-nari saat gelap, kumpulan monster tak berbentuk yang ingin menarik dan menelan dalam kegelapan. Terlalu banyak mengkhayal? Mungkin juga, tapi yang pasti, sampai besar, saya masih sering tidak bisa menikmati banyak film horror yang penuh dengan suasana gelap dan ketidak pastian bentuk itu.

Sampai sekali waktu, satu hal terjadi dan merubah ketakutan saya yang satu ini. Orang yang sangat saya cintai dipanggil Tuhan, seorang yang suka memegangi tangan saya dan selalu hadir kapan saja saya butuhkan, pergi ke tempat yang tidak saya pahami bentuknya. Saat itu saya menyadari bahwa ada hal yang jauh lebih menakutkan daripada sekedar kegelapan tanpa bentuk, suatu rasa kehilangan yang tidak tergantikan.
Saya memaksa menghadirkan sosok yang hilang itu di mana saja dan kapan saja, terutama mendesaknya menemani saya pada saat saya belajar menikmati kegelapan tanpa ketakutan, waktu malam-malam ketika saya hanya bisa berbaring tanpa memejamkan mata. Semua bayangan yang dulu saya takutkan berangsur lenyap. Saya jadi mencintai kegelapan lalu belajar mengerti, bahwa ketakutan sebenarnya ada karena saya tidak bisa mengetahui apa yang ada di balik kegelapan itu. Saya juga belajar menerima, bahwa kehilangan itu menakutkan karena saya tidak bisa memastikan apa yang terjadi.

Saya bahkan menemukan, bahwa kegelapan ternyata bisa memunculkan begitu banyak hal indah juga.
Ada jejak kehidupan, saat saya menikmati malam gelap yang gaduh dengan kemunculan burung hantu serak yang putih seperti hantu dan katak-katak yang ribut di tepian sungai dan hutan saat harus mengerjakan penelitian.
Ada jejak kekaguman, saat menatap kelip bintang-bintang dan bulan yang tampak justru ketika malam penuh dengan kegelapan.
Ada jejak kelegaan, saat mengeluarkan penat seharian dalam meditasi tepat tengah malam dalam ruang tenda yang gulita dan penuh bayangan pohon dan desau angin.
Ada jejak keyakinan, saat penuh penasaran menunggu terang hari baru yang pasti datang untuk membuktikan banyak hal menarik yang akan terjadi.

Kegelapan menjadi satu bagian yang membuat seluruh potongan peristiwa kehidupan menjadi utuh, sehingga tetap harus ada dan diterima. Semua berubah menjadi satu kewajaran, hal yang sangat biasa. Saya bertahan menghadapi kegelapan, karena berhasil menanggapi makna keadaan itu dengan penuh sadar.

Hari dan tanggal keramat saat saya menulis postingan ini, sering dipakai untuk mengingatkan ketakutan pada dunia kegelapan tanpa bentuk. Dan pagi ini saya berhasil mengusir ketakutan ini dengan mewajarkan waktu hari ini sama dengan hari-hari kemarin dan hari esok, semua bagian dari waktu kehidupan panjang tempat kita setiap kali menjaga alam pikiran kita tetap hidup.

Memelihara perasaan kita untuk sadar atas suatu kenyataan dan hidup sebagaimana adanya memang suatu proses pembelajaran, karena ada banyak sekali hal yang harus kita tanggapi dan simpulkan untuk tetap bertahan sebagai manusia. Kita hanya mampu membuatnya berbeda dan penuh warna, menjiwainya dengan semua rasa yang kita peroleh sebagai anugerah berinteraksi dengan Yang Kuasa, dengan orang lain dan dengan alam sekitar. Memaknai hidup kembali tanpa penuh kepura-puraan, mengakui segala rasa, menikmatinya dengan penuh syukur, pasti membuat kita merasa lebih nyaman dan bersiap untuk segala kewajaran-kewajaran lain.





Untuk waktu-waktu belakangan ini, saat akhirnya banyak sekali rasa lega mulai menjadi bagian dari catatan hidup penuh kerinduan yang wajar

Tidak ada komentar:

Kisah Kita

Bernafas, namun tak berasa hidup. Berjiwa, namun berasa tak bernyawa. Menjalani hari hanya menghitung tiap menit, berusaha melupakan bahwa...