Dua kali sehari, tidak, sesungguhnya empat kali sehari, waktuku kaukuasai dengan ritual yang awalnya menjadi milikmu seorang. Dulu, sempat hilang kata-kata saat kuketahui kondisi yang mengharuskanmu hidup dalam ritual wajib ini.
Satu dari total tujuh, kemudian dua lagi,
lantas satu, lalu tiga lagi pada akhirnya.
Teratur, terus berjalan seperti jarum detik-menit-jam yang berputar,
dan ikut mengatur ritual hidupku.
Di manapun kita berada, sedang apapun kita,
dalam keadaan bagaimanapun kita,
ritual ini mengatur semua kebiasaan kita.
K i t a ?
Entahlah, mungkin untukmu ritual ini sudah sebiasa menarik nafas dan mengedipkan mata.
Untukku, sama dengan menghitung waktu untuk siap menerima
saat kau memintaku merelakanmu menjalani ritual ini dengan orang lain.
Empat kali sehari aku diingatkan untuk bersyukur masih bisa menemanimu,
meredam rasa sakit dan pedihku saat kau menjauhkanku,
menjajari langkahmu meski sering kau meniadakanku,
memaksaku untuk tetap sadar di mana posisiku sebenarnya.
Ironisnya, ritual ini kerapkali jadi satu-satunya jembatan yang menghubungkan jarak kita,
dan mampu membuatku berani untuk bertahan.
Di manakah aku nanti? Saat kau memintaku untuk pergi?
Kuatkah aku bila waktu itu tiba? Ke mana lagi aku kan bersembunyi darimu?
Bisakah kau membantuku menjawabnya?
...
Kita pernah berkelakar untuk menuliskan bagian-bagian hidup kita untuk diketahui orang lain,
maaf, aku seorang yang berada di luar lingkaranmu,
jauh dari yang sesungguhnya paling berkepentingan,
yang memulainya duluan.
“...ku masih di sini...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar