Selasa, 01 Desember 2020

Menuju Cahaya

Awal musim hujan tahun ini agak berbeda, mulai dengan malu-malu, tidak tegas seperti biasanya. Masih banyak hari cerah dan terik, sementara hujan dan badai kadang masih bisa dihitung jari. Bermukim di antara hutan berbatu karang dan kebun durian luas milik masyarakat berasa mewah sekali untuk saya. Menikmati udara dengan kualitas terbaik setiap hari - kecuali saat tetangga membakar sampah, ditambah suasana sunyi rumah di kampung - kecuali saat grup ibu-ibu kompleks bersenam aerobik dan ada tetangga yang konser sampai pagi, adalah kemewahan lainnya.

Malam ini, ada satu lagi bonus yang saya amati, serbuan laron sesaat setelah senja turun. Laron, fase bersayap dari rayap, musuh utama pemilik rumah berkayu (atau berangka kayu seperti milik saya ini), tahun ini keluar dan menyerbu lampu-lampu di kompleks dengan frekuensi lebih sering ketimbang sebelumnya. Sudah lebih dari lima kali pada awal musim penghujan ini.
Entah begitu besar populasi mereka selama pandemi ini, atau memang kompleks inilah yang menawarkan lebih banyak pendar kehangatan yang terdekat dengan liang-liang mereka, atau memang karena naluri mereka untuk mencari pasangan dan menyelesaikan siklus hidupnya, yang terpenting mereka keluar dari liangnya. Kegelapan liang membukakan jalan menuju sinar yang bisa mereka capai.

Setelah sukses keluar, mereka akan berupaya mencari pasangan dalam waktu semalam itu juga. Berhasil; membentuk koloni rayap baru, saat gagal; hidup mereka berakhir, sedikitnya menjadi penyambung hidup cicak, kadal, katak pohon, atau sebagai penghuni gudang makanan semut, saudara setanah berbeda liang. Hidup dalam keadaan buta, sibuk bekerja sepanjang umurnya di dalam lorong kayu dan liang gelap, menjadi anggota korsa paling berbakti kepada keluarga besarnya, dan tidak pernah komplen soal kedudukannya dalam kasta koloninya, hanya sebagian kecil sifat mahluk ujung tombak pengurai alami ini.
Hidup sederhana yang mereka jalani, luput dari pemikiran manusia, melibatkan banyak pihak dan banyak sistem teratur dan baku, melebihi system thinking dan model dinamis yang tidak cukup dipelajari dalam satu semester.
Mahluk mungil, yang berani keluar dan menjalani nasibnya, ternyata bisa jadi pelajaran berharga untuk manusia mumet ribet seperti saya. Saya, manusia yang sering sekali lupa kalau sangat dicintai Pencipta dan punya banyak rahmat, berkat dan anugerahNya, memang masih butuh sering berlutut, tunduk dan belajar dari lebih banyak ciptaanNya.


# Kalau mahluk sekecil ini saja berani keluar dari kegelapan menyongsong cahaya meski hidupnya masih penuh ketidakpastian, mengapa manusia sering memilih sebaliknya?


Pengingat untuk Senin, 30 Nopember 2020 – Hari I Novena St. Rafael

Tidak ada komentar:

Kisah Kita

Bernafas, namun tak berasa hidup. Berjiwa, namun berasa tak bernyawa. Menjalani hari hanya menghitung tiap menit, berusaha melupakan bahwa...