Hujan, untukku, selalu menjadi momen yang melukiskan cinta;
bukan saja karena ada pelangi di ujungnya,
atau ada mendung di awalnya,
atau ada jutaan butiran air berbagai ukuran di dalamnya,
tapi juga karena ada hawa perubahan yang dibawanya.
Dan benar saja, belum sampai sepuluh hari dusun ini diguyur hujan, sudah ada yang mulai berubah di sana-sini.
Kemarin, seusai bekerja, badan kuyup oleh keringat, kepala kesetrum migren berat, tetap memaksakan diri menginspeksi halaman belakang; sebuah ritual lama yang sudah mulai ditinggalkan, sejak tak ada lagi keharusan menyiram pot-pot tanaman bumbu dan petak penuh rumput kering, setelah semua lenyap disapu badai musim panas.
Segar rasanya menatap dedaunan hijau menguasai sebidang tanah yang awalnya kerontang tak bernyawa. Rumput segala model menggulma cepat, panjang-panjang, berkilat, berantakan di sela-sela pendahulunya yang mati, menantang mata pisau mesin babat yang masih ngadat karena rusak onderdilnya.
Lalu, plop!
Beberapa alien bermunculan di sela-sela rumput menggila itu.
Jamur, cendawan, fungi...seperti adonan roti salah resep, numplek membulat seenaknya, atau kuning kecil dan malu-malu menutup tudungnya, dan yang lainnya mekar sembunyi-sembunyi dengan gerigi rumah sporanya.
Entah yang manapun, yang jelas, perjuangan memotret tamu-tamu kecil ini sambil bergulingan di rerumputan yang belia dan lembut, membuatku semakin mencintai hujan.
Teramat lagi, merindukan pelangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar